Senin, 12 April 2010

Kisah Pilotikatissa Thera

Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian lusuh berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba melihat pemuda tersebut, dan mengajaknya menjadi seorang samanera. Samanera muda tersebut meninggalkan pakaian dan mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Ketika ditahbis menjadi seorang bhikkhu ia dikenal dengan nama Pilotikatissa.

Sebagai seorang bhikkhu, ia tidak perlu kuatir kekurangan makanan dan pakaian. Namun kadang-kadang ia merasa tidak bahagia dalam kehidupannya sebagai bhikkhu dan berkeinginan kembali hidup sebagai umat biasa. Ketika perasaan ini timbul, ia pergi ke pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya.

Ketika sampai di bawah pohon itu, ia bertanya kepada dirinya sendiri, "Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan tempat dimana kamu cukup makan dan cukup pakaian? Apakah engkau masih mau mengenakan pakaian buruk ini dan pergi meminta-minta dengan mangkuk tua ini di tanganmu?" Demikianlah ia memarahi dirinya sendiri, dan setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara.

Setelah dua atau tiga hari kemudian, keinginan untuk meninggalkan kehidupan bhikkhu muncul kembali, dan ia pun kembali ke pohon itu dan bertanya pada dirinya sendiri perihal pertanyaan yang sama. Seperti kejadian pertama, ia memarahi dirinya sendiri dan setelah menenangkan diri, ia kembali ke vihara. Kejadian ini terulang beberapa kali.

Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepadanya, mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberitahu mereka bahwa ia pergi menemui gurunya (dianggap sebagai "guru", karena membuat ia malu dan kembali ke jalan yang benar).

Dengan menggunakan pakaian dan mangkuk tuanya sebagai objek meditasi, ia menyadari hakikat dari corak kenyataan kelompok kehidupan/khanda (sebagai tidak kekal/anicca, tidak memuaskan/dukkha, tidak ada aku yang kekal/anatta), akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian ia tidak lagi pergi ke pohon itu.

Melihat hal itu, bhikkhu-bhikkhu lain bertanya kepada Pilotikatissa: "Mengapa engkau tidak pergi menemui gurumu lagi?"

Kepada mereka ia menjawab: "Ketika saya membutuhkan, saya pergi kepadanya; tapi sekarang saya tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya."

Setelah mendengar jawaban tersebut, bhikkhu-bhikkhu itu membawa Pilotikatissa menghadap Sang Buddha. Ketika sampai disana, mereka memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata, "Bhante, bhikkhu ini mengaku telah mencapai tingkat kesucian arahat, ia pasti telah berbohong."

Akan tetapi Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Pilotikatissa tidak berbohong, ia berkata benar. Walaupun dulu ia mempunyai hubungan baik dengan gurunya, namun saat ini ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan gurunya. Pilotikatissa Thera telah memiliki pengertian membedakan penyebab yang benar dan yang salah serta menyadari corak kenyataan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Sekarang ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu ia tak ada hubungan lagi dengan gurunya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:

"Hirīnisedho puriso
koci lokasmi vijjati
yo nindaṃ appabodhati
asso bhadro kasām iva.

Asso yathā bhadro kasāniviṭṭho
ātāpino saṃvegino bhavātha
saddhāya sīlena ca viriyena ca
samādhinā dhammavinicchayena ca
sampannavijjācaraṇā patissatā
pahassatha dukkham idaṃ anappakaṃ."

Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki hiri (rasa malu untuk berbuat jahat),
yang senantiasa waspada, bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti.

Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik,
walaupun sekali saja merasakan cambukan,
segera menjadi bersemangat dan berlari cepat,
demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar,
dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran,
akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.

-------------
Notes:
Walaupun pada awalnya Pilotikatissa Thera memiliki motivasi yang salah (mendapat makan cukup dan pakaian yang pantas), tetapi untungnya ia akhirnya sadar dan menggunakan simbol kemelekatannya (berupa ingatan atas pakaian dan mangkuk lamanya) sebagai obyek meditasi dan berhasil mencapai arahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar