Rabu, 24 November 2010

Kisah Jatila, Seorang Brahmana

Suatu ketika seorang pertapa brahmana berpikir sendiri bahwa Sang Buddha menyebut pengikutnya `brahmana` dan bahwa dirinya adalah brahmana karena kelahirannya, seharusnya juga disebut seorang `brahmana`. Karena berpikir demikian, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengemukakan pandangannya. Tetapi Sang Buddha menolak pandangannya dan berkata, "O brahmana, Aku tidak menyebut seseorang brahmana karena ia membiarkan rambutnya terjalin atau hanya karena kelahirannya. Aku menyebut seseorang brahmana; hanya jika ia secara penuh memahami `Empat Kebenaran Mulia` ."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Na jaṭāhi na gottena
na jaccā hoti brāhmaṇo
yamhi saccañ ca dhammo ca
so sukhī so ca brāhmaṇo."

Bukan karena rambut di jalin, keturunan, ataupun kelahiran,
seseorang menjadi brahmana.
Tetapi orang yang memiliki kejujuran dan kebajikan
yang pantas menjadi seorang `brahmana`, orang yang suci.

Kamis, 18 November 2010

Kisah Seorang Pertapa Brahmana

Suatu ketika hiduplah seorang brahmana petapa di Savatthi. Suatu hari, terpikir olehnya bahwa Sang Buddha menyebut murid-muridnya ‘pabbajita’ (yang artinya telah pergi meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk menjadi petapa), dan karena ia juga seorang petapa, maka ia seharusnya juga disebut seorang pabbajita. Jadi ia pergi menemui Sang Buddha dan bertanya mengapa ia tidak disebut seorang pabbajita.

Sang Buddha berkata, "Hanya karena seseorang adalah petapa, seseorang tidak dengan sendirinya dapat disebut sebagai seorang pabbajita; tetapi karena nafsu keinginan dan kekotoran batin telah pergi darinya, maka seseorang disebut orang ‘yang telah pergi’, seorang pabbajita.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Bāhitapāpo ti brāhmaṇo
samacariyā samaṇo ti vuccati
pabbājayam attano malaṃ
tasmā pabbajito ti vuccati."

Karena telah membuang kejahatan, maka ia Kusebut seorang `brahmana` ;
karena tingkah lakunya tenang, maka ia Kusebut seorang `petapa`(samana);
dan karena ia telah melenyapkan noda-noda batin,
maka ia Kusebut seorang `pabbajita` (orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga).

Petapa tadi mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Jumat, 05 November 2010

Kisah Nangalakula Thera

Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja pada seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika ia menyetujui sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasehatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak).

Kehidupan di vihara lebih baik maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah beberapa saat ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumahtangga.

Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh. Di sana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar ?" Setelah berpikir seperti itu, ketidakpuasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari untuk merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.

Jika para bhikkhu bertanya kepadanya tentang seringnya ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab, "Saya pergi ke tempat guru saya."

Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia berhenti ke pohon lagi. Para bhikkhu lain memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya, "Mengapa engkau sekarang tidak lagi berkunjung kepada gurumu?" Kepada mereka ia menjawab, "Saya pergi kepada guru saya karena saya memerlukannya, tetapi sekarang saya tidak memerlukan pergi kepadanya." Para bhikkhu mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat. Itu tidak mungkin benar; ia pasti membual, ia pasti berbohong."

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu jangan berkata seperti itu perihal Nangala, ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Attanā coday’attānaṃ paṭimāse attam attanā,
so attagutto satimā sukhaṃ bhikkhu vihāhisi.

Attā hi attano nātho attā hi attano gati,
tasmā saññāmay’attānaṃ assaṃ bhadraṃ va vāṇijo."

Engkaulah yang harus mengingatkan
dan memeriksa dirimu sendiri.
O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga
dirimu sendiri dan selalu sadar,
maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.

Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri.
Bagaimana bisa orang lain menjadi pelindung bagi seseorang?
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri,
seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.

Rabu, 03 November 2010

Kisah Bhikkhu-bhikkhu Yang Berjumlah Banyak

Terdapatlah seorang perempuan yang sangat kaya bertempat tinggal di kota Kuraraghara, kira-kira berjarak 120 yojana dari kota Savatthi. Ia mempunyai seorang putera yang telah menjadi bhikkhu, namanya Sona. Pada suatu kesempatan, bhikkhu Sona berjalan melewati kota kelahirannya.

Pada waktu bhikkhu Sona pulang menuju Vihara Jetavana, ia bertemu dengan ibunya, dan ibunya mengundang bhikkhu Sona untuk menerima sejumlah besar persembahan. Mengetahui bhikkhu Sona dapat menguraikan Dhamma dengan baik, ibunya juga memohon bhikkhu Sona untuk membabarkan Dhamma kepadanya dan orang-orang lain di kota kelahirannya itu.

Bhikkhu Sona menerima permohonan tersebut. Ibunya membangun sebuah bangsal Dhamma yang dapat menampung banyak orang untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ibu itu juga mengundang banyak teman, tetangga, dan anggota keluarganya untuk hadir dalam pembabaran Dhamma tersebut. Ibu kaya itu meninggalkan rumahnya yang hanya dijaga oleh seorang pelayan perempuan.

Ketika pembabaran Dhamma sedang berlangsung, datanglah kawanan pencuri yang berjumlah sembilan ratus orang ke rumah ibu kaya itu. Pemimpin dari kawanan pencuri itu sengaja pergi ke bangsal Dhamma, tempat pembabaran Dhamma sedang berlangsung, dan pemimpin itu berada dekat serta memperhatikan gerak-gerik si ibu kaya. Tujuannya adalah untuk membunuh ibu itu jika kembali ke rumah ketika pencurian sedang berlangsung.

Ketika pelayan itu mengetahui banyak pencuri datang memasuki rumah majikannya, ia segera melaporkan hal itu kepada si ibu kaya, tetapi si ibu hanya menjawab, "Biarkan pencuri-pencuri itu mengambil seluruh uangku, saya tidak peduli, tetapi engkau jangan kemari lagi, jangan mengganggu saya saat saya sedang mendengar Dhamma. Engkau sebaiknya kembali saja."

Pelayan itu kembali ke rumah majikannya, disana ia melihat para pencuri sedang masuk ke ruang penyimpanan perak milik majikannya. Pelayan itu kembali pergi menemui si ibu kaya di bangsal Dhamma, memberitahukan apa yang sedang dilakukan oleh para pencuri. Tetapi, pembantu rumah tangga itu mendapatkan jawaban yang sama seperti semula. Ia pulang kembali ke rumah majikannya.

Selanjutnya pelayan itu melihat para pencuri memasukin ruang penyimpanan emas milik majikannya. Ia pergi kembali melaporkan hal itu kepada majikannya. Saat itu si ibu mengatakan, "O sayang, biarkanlah pencuri-pencuri itu mengambil apa yang mereka sukai; mengapa engkau datang kemari lagi dan mengganggu saya saat sedang mendengarkan Dhamma? Mengapa engkau tidak pulang dan tinggal di rumah saja seperti apa yang sudah saya katakan padamu ? Janganlah engkau mengganggu kembali mendekati saya dan mengatakan perihal barang-barang atau pencuri-pencuri itu lagi."

Pemimpin para pencuri yang berada dekat dengan si ibu itu mendengarkan semua perkataan yang sudah diucapkan oleh si ibu, dan ia benar-benar mengagumi keyakinan ibu itu terhadap Dhamma. Kata-katanya juga menjadikan dirinya berpikir, "Jika kami mengambil barang-barang orang yang bijaksana dan mulia seperti ibu ini, kami benar-benar akan terkutuk, kehidupan kami akan mengalami kehancuran, dan bisa jadi badan kami akan hancur berkeping-keping."

Pemimpin itu menjadi kuatir akan kemungkinan yang dipikirkannya itu, segera ia pergi ke rumah si ibu dan menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan seluruh barang milik si ibu yang telah mereka ambil. Kemudian ia mengajak pengikut-pengikutnya ke tempat si ibu berada. Ibu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan sepenuh hati di bangsal Dhamma.

Sona Thera mengakhiri pembabaran Dhamma-nya ketika hari menjelang pagi hari. Ia turun dari tempat pembabaran Dhamma (Dhamma-asana), dan menuju ke tempat duduk yang telah disediakan.

Pemimpin para pencuri mendekati si ibu kaya, perempuan bijaksana, memberi hormat kepadanya dan memperkenalkan dirinya. Ia juga mengatakan kepada si ibu bahwa ia bersama kawan-kawannya telah memasuki rumah si ibu dan mengambil barang-barang berharga tetapi ia telah mengembalikan seluruh barang itu sesudah ia mendengar kata-kata si ibu kepada pembantu rumah tangganya yang melaporkan kejadian pencurian itu. Sang pemimpin beserta para pengikutnya memohon si ibu untuk memaafkan segala perbuatan buruk yang telah mereka lakukan.

Selanjutnya mereka memohon kepada Sona Thera untuk diterima sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha). Setelah mereka ditahbiskan menjadi bhikkhu, sembilan ratus bhikkhu baru itu mendapat bimbingan meditasi dari Sona Thera, dan mereka pergi ke hutan untuk melatih diri bermeditasi di tengah-tengah kesunyian.

Dari jarak 120 yojana, Sang Buddha mengetahui kisah para bhikkhu itu, dan mengirim bayangan diriNya kepada mereka sehingga seolah-olah Beliau berada di tengah-tengah mereka.