Sabtu, 13 Oktober 2012

KERA TUNG PEI, SANG PANGLIMA KERA

 KERA TUNG PEI, SANG PANGLIMA KERA



Legenda Panglima kera TongBei
Pada jaman Musim Semi & Musim Gugur, hiduplah seekor kera ajaib bernama Yuan Gong (Yuan Hong). Mengapa disebut ajaib? Maklum kera ini bukan hanya bisa berpikir & berbicara seperti manusia namun jg sangat menyukai ilmu beladiri.

Sudah banyak pendekar tangguh yg ditantang & dikalahkannya, hingga suatu hari dy mendengar ttg seorang gadis jago pedang dari negri Yue yg konon tak terkalahkan, Yuan Gong pun jadi penasaran & segera pergi kenegri Yue untuk menantangnya.

Tak disangka sigadis ternyata dapat mengalahkannya dg sangat mudah, hingga sikera menyadari ilmunya masih cetek & mengangkat sigadis sbg gurunya.

Tak lama kemudian pecah perang antara negri Yue & negri Wu (negrinya Sun Tzu) dan sigadis jago pedang ditunjuk sebagai pelatih pasukan negri Yue.
Selama peperangan, YuanGong mengikuti gurunya maju kemedan perang memababati musuh2nya, sehingga orang2 menjulukinya sebagai "panglima kera TongBei" (TongBei berarti lengan panjang, sesuai dg ukuran lengan Yuan Gong yg memang panajang)
Setelah peperangan usai & negri Yue menang, perdana mentri Yue hendak memberi penghargaan pada sigadis & keranya itu, siapa tahu keduanya telah raib entah kemana....

Menurut desas desus, sang gadis adl jelmaan dewi Jiu Tian Xuan Nu (alias dewi Athena nya bangsa China) yg sengaja turun kedunia untuk menolong negri Yue. Adapun sikera kemudian disembah dg sebutan panglima kera TongBei & dibuatkan patungnya

Lalu bagaimana nasib TongBei YuanHou sebenarnya? Rupanya sikera ini mengikuti gurunya kelangit & disana dy diajari bermacam2 ilmu kesaktian seperti memindahkan matahari & bulan serta menyusutkan gunung ....

TongBei dalam novel Jouney To The West yg asli
Kera Tung pei memang tidak pernah benar2 muncul dalam novel Journey to the West, namun namanya sampat disebut sekilas dalam ahir cerita kera berterlinga 6..
Disitu Budha RuLai menerangkan bahwa didunia ini ada 4 jenis kera ajaib, yaitu
1. Kera batu (Sun GoKong)
2. Kera bertelinga enam (Liu er mi/kera Lok Yi) yg muncul sbg salah satu antagonis dinovel
3. Kera tung Pei (TongBei YuanHou), memiliki kesaktian yg bisa memindahkan matahari & bulan serta menyusutkan gunung
4. Kera Ma merah, memahami yin & yang & berumur panjang


Novel ttg sang panglima kera
Bila Sun GoKong memiliki novel berjudul Journey to the West, maka Yuan Gong (alias panglima kera TongBei) inipun memiliki novelnya sendiri yg berjudul Ping Yao Zhuan (The Sorcerer Revolt), novel ini ditulis oleh Feng MengLong (salah satu penulis paling produktif dari dinasti Ming) & Luo GuanZhong (penulis SamKok)
Kalo agan2 mau baca ebooknya bisa klik link dibawah ini

Si Raksasa Makhluk Pemakan Daging Manusia yang Menjadi Sadar

      ALAVAKA
      Si Raksasa Makhluk Pemakan Daging Manusia yang Menjadi Sadar
          Alavaka, yang tinggal di dekat kota Alavi, adalah pemakan daging manusia. Karena begitu galak, berkuasa, dan liciknya maka ia dikenal sebagai “si Raksasa”. Suatu hari, raja negeri Alavi pergi berburu rusa di hutan dan ia ditangkap oleh Alavaka. Sang Raja memohon agar ia dilepaskan, tetapi sebagai ganti dari kebebasannya itu ia harus mengirim satu orang setiap hari ke hutan sebagai persembahan untuk Alavaka. Setiap hari seorang tahanan dikirim ke dalam hutan dengan membawa sepiring nasi. Dikatakan bahwa untuk mendapatkan kebebasannya, tahanan itu harus pergi ke pohon tertentu, menaruh nasi di sana dan kemudian dia dapat bebas. Pada mulanya banyak tahanan yang dengan sukarela melaksanakan tugas yang ‘sederhana’ itu. Tetapi setelah waktu berlalu dan tak seorang pun yang kembali untuk menceritakan apa yang telah terjadi kepada tahanan lainnya, para tahanan harus dipaksa setiap hari untuk pergi ke hutan.
          Segera saja penjara menjadi kosong. Bagaimana sekarang cara raja memenuhi janjinya untuk mengirimkan seorang manusia setiap hari untuk santapan raksasa tersebut? Para menteri mengusulkan kepada raja agar meletakkan bungkusan-bungkusan berisi emas di jalanan. Mereka yang ditemukan mengambil bungkusan tersbut akan ditangkap pencuri dan dikirim kepada Alavaka. Lama-kelamaan, tak seorang pun berani mengambil bungkusan-bungkusan itu. Akhirnya usaha terakhirnya dalah raja mulai menangkap anak-anak untuk dijadikan persembahan. Permasalahan yang menakutkan ini menyebabkan kota tersebut menjadi sepi. Akhirnya hanya tinggal satu orang anak laki-laki dan ia adalah putra Sang Raja. Dengan berat hati, sang Raja memerintahkan agar sang Pangeran dikirim ke Alavaka keesokan paginya.
          Hari itu, Sang Buddha kebetulan berada di dekat kota itu. Ketika Beliau memantau dunia ini dengan mata batinNya pagi itu, Beliau melihat apa yang sedang terjadi. Karena rasa belas kasihNya kepada sang Raja, sang Pangeran, dan Alavaka, Sang Buddha seharian melakukan perjalanan pergi ke goa tempat raksasa tersebut dan pada malam harinya Beliau tiba di pintu gerbang goa tersebut. Si Raksasa sedang pergi ke gunung, dan Sang Buddha menanyakan penjaga gerbang apakah Beliau dapat bermalam di goa itu. Ketika penjaga gerbang pergi untuk memberitahukan tuannya tentang permintaan ini, Sang Buddha masuk ke dalam goa, duduk di tempat duduk si Raksasa dan membabarkan Dhamma kepada para istri raksasa tersebut.
          Ketika si Raksasa mendengar apa yang telah terjadi dari pembantunya, dia segera pulang ke rumah dengan sangat marah. Dengan kekuatan maha dasyatnya, dia menciptakan badai yang hebat dengan goncangan dan petir di hutan itu disertai guntur, kilat, angin, dan hujan. Tetapi Sang Buddha tidak takut. Alavaka kemudian menyerang Sang Buddha dengan melempar tombaknya menghantam Sang Buddha, tetapi sebelum senjata itu dapat menyentuh Beliau, tombak-tombak itu jatuh di dekat kaki Sang Buddha. Karena tidak dapat menakut-nakuti Sang Buddha, Alavaka bertanya :
       “Benarkah tindakan Anda, seorang manusia suci, masuk dan duduk di antara para istri pemilik rumah ketika pemiliknya sedang tidak di tempat?” Sang Buddha lalu bangkit dan akan meninggalkan goa itu.
          Alavaka berpikir, “Betapa bodohnya saya membuang-buang tenaga dengan mencoba menakut-nakuti pertapa ini”. Karena itu dia meminta Sang Buddha masuk ke dalam goa lagi. Si Raksasa memerintahkan Sang Buddha tiga kali untuk keluar dari goa dan tiga kali untuk masuk ke dalam goa dengan harapan di dapat membunuh Sang Buddha untuk meninggalkan goa tersebut untuk keempat kalinya, Sang Buddha menolak melakukannya dan berkata : “Saya tidak akan mematuhi perintahmu, Alavaka. Lakukan apa saja yang dapat kamu lakukan tapi Saya akan tetap tinggal di sini”.
          Karena tidak sanggup memaksa Sang Buddha melakukan apa yang diinginkan, Alavaka mengubah taktiknya dan berkata, “Saya akan menanyaimu beberapa pertanyaan. Jika engkau tidak dapat menjawabnya saya akan mengoyak jantungmu, membunuhmu, dan melemparkanmu ke seberang sungai”. Sang Buddha berkata kepadanya dengan tenang, “Tak ada seseorang pun, Alavaka, apakah ia seorang manusia atau dewa, pertapa, brahma atau brahmana, yang dapat melakukan hal itu terhadapKu. Tetapi jika engkau ingin menanyakan sesuatu, silakan lakukan”.
          Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan yang dia pelajari dari orang tuanya yang juga mendapatkannya secara turun-temurun. Dia telah lupa pada jawabannya, tetapi dia harus melestarikan jawaban-jawaban tersebut dengan menuliskannya di atas daun emas.
          Pertanyaan tersebut adalah :
       “Apakah kekayaan terbesar bagi seorang manusia?"
      "Apakah yang dapat memberikan kebahagiaan tertinggi ketika seseorang menguasainya dengan baik?"
      "Apakah rasa termanis dari semua rasa?"
      "Jalan kehidupan mana yang terbaik?"
          Sang Buddha menjawab :
       “Kekayaan terbesar bagi seorang manusia adalah keyakinan. Doktrin/ajaran yang benar bila dikuasai dengan baik akan memberikan kebahagiaan tertinggi. Rasa yang paling manis adalah rasa kebenaran. Hidup yang bijaksana adalah cara hidup yang sepatutnya”.
          Alavaka  menanyakan beberapa pertanyaan lagi yang semuanya dijawab oleh Sang Buddha. Pertanyaan yang terakhir adalah :
       “Ketika meninggalkan dunia ini untuk menuju ke dunia/alam berikutnya, bagaimana agar seseorang itu tidak bersedih?”
          Jawaban Sang Buddha adalah :
       “Ia yang memiliki empat kebajikan ini - kebenaran, moral yang baik, keberanian, dan kemurahan hat maka kesedihan tidak akan ada ketika ia harus meninggal dunia”.
       Karena mengerti arti dari kata-kata Sang Buddha, Alavaka berkata, “Sekarang saya tahu apa rahasia dari kesejahteraan masa depanku. Adalah demi kesejahteraan dan kebaikan diriku, Sang Buddha datang ke Alavi”, Alavaka bersujud kepada Sang Buddha dan memohon agar ia diterima sebagai murid.
          Keesokan paginya ketika para petugas kerajaan Alavi datang bersama dengan putra raja, mereka terpana melihat pemandangan di mana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada Alavaka yang mendengarkan khotbah itu dengan penuh perhatian. Ketika anak itu dituntun ke arah Alavaka, Alavaka merasa malu pada dirinya sendiri untuk menerima anak itu sebagai persembahan raja. Dan sebaliknya dia membelai kepala anak itu, menciumnya dan menuntunnya kembali kepada para petugas. Setelah itu Sang Buddha memberkati anak itu dan Alavaka.
       Tentu saja, perubahan dari Alavaka sang pemakan daging manusia, menunjukkan bagaimana Sang Buddha, dengan kebijaksanaan dan welas asihNya yang besar, dapat menjinakkan makhluk yang ganas serta mengubahnya menjadi murid yang lembut.
       

Seorang hartawan yang menjadi miskin

Anathapindika
(Seorang hartawan yang menjadi miskin)
 
      Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha. Dia pergi ke vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia amembawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.
      Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapana, bathinnya tidak tergucang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana. Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali.”
      Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, mahluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut, dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.
      Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedangan yang belum dikembalikan kepada Anathapindika; delapan belas crores lainnya disembunyikannya oleh lelulur (nenek moyang) Anathapindika, dan lainnya yang buka milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan bathin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya.”
      Mahluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya. Ketika mahluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudera, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum kemudian Anathapindika membawa mahluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha.
      Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akubat dari perbuatan jahat untuk selamanya; tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.”
      Mahluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah mendengar kotbah Dhamma tersebut berakhir.
      Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnyabelum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah peerbuatan bajiknya belum masak’ tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak; ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik
      (Dhammapada 119 & 120)