Jumat, 22 Oktober 2010

Kisah Culadhanuggaha, Pemanah yang Trampil

Suatu ketika seorang bhikkhu muda menerima dana makanan pada salah satu tempat berteduh yang khusus dibuat untuk para bhikkhu di dalam kota. Setelah makan ia merasa ingin minum. Ia pergi ke suatu rumah dan meminta air minum, seorang gadis keluar untuk memberinya air minum. Begitu melihat bhikkhu muda tersebut, gadis itu jatuh cinta kepadanya. “Bhante,” kata gadis itu, “jika lain kali membutuhkan air minum, datanglah kemari, jangan pergi ke tempat lain.”.

Setelah itu, setiap kali bhikkhu itu tidak mendapat air minum, ia pergi ke rumah gadis itu. Gadis itu akan mengambil mangkuknya dan memberinya air minum. Sejalan dengan waktu lama kelamaan gadis itu juga memberinya bubur nasi. Dan suatu hari gadis itu menyediakan tempat duduk untuk bhikkhu itu dan memberinya nasi. Kemudian gadis itu duduk di sebelah bhikkhu itu dan mulai mengajak berbicara, ia berkata, “Bhante, sangat sepi sekali di rumah ini; kami jarang sekali melihat orang, bahkan melihat pengembara”.

Setelah mendengarkan obrolan gadis itu selama beberapa hari, bhikkhu muda itu menjadi tidak puas akan kehidupannya sebagai bhikkhu. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain mengunjunginya, dan menanyakan keadaannya, ia mengatakan bahwa ia tidak puas. Maka merekapun membawanya kepada Sang Buddha dan melaporkan masalahnya.

Sang Buddha memanggil bhikkhu muda tersebut, dan berkata padanya, "Anak-Ku, dengarkan Aku. Gadis muda ini akan menyebabkan keruntuhanmu seperti yang telah dia lakukan padamu dalam kehidupanmu yang lampau.

Dalam salah satu kehidupanmu yang lampau, kamu adalah seorang pemanah yang sangat trampil dan ia adalah istrimu. Pada suatu kesempatan, ketika kamu berdua sedang dalam perjalanan, kamu bertemu dengan sekelompok bandit. Istrimu jatuh cinta dengan pemimpin kelompok itu. Ketika kamu dan pemimpin kelompok itu sedang terlibat dalam satu perkelahian, kamu berteriak pada istrimu agar memberikan pedangmu. Tetapi istrimu memberikan pedang itu pada pemimpin kelompok yang segera membunuhmu. Jadi, ia adalah penyebab kematianmu. Sekarang juga, ia akan menjadi penyebab kehancuranmu jika kamu mengikutinya dan meninggalkan pasamuan bhikkhu demi dirinya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Vitakkapamathitassa jantuno
tibbarāgassa subbhānupassino
bhiyyo taṇhā pavaḍḍhati
esa kho daḷhaṃ karoti bandhanaṃ.

Vitakkūpasame ca yo rato
asubhaṃ bhāvayatī sadā sato
esa kho vyantikāhiti
esa-ccheecchati mārabandhanaṃ."

Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu,
dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja,
maka nafsu keinginannya akan terus bertambah.
Sesungguhnya orang seperti itu memperkuat ikatan belenggunya sendiri .

Orang yang bergembira dalam menenangkan pikirannya, dan selalu sadar
tekun merenungkan hal-hal yang menjijikkan (sebagai objek perenungan dalam samadhi)
maka ia akan mengakhiri nafsu-nafsu keinginannya
dan menghancurkan belenggu Mara.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


------------------------
Notes :

Kisah di masa lalu : Pemanah Muda Yang Bijaksana – Culla Dhanuggaha
Dalam kehidupan sebelumnya, bhikkhu diatas adalah seorang awam bernama Culla Dhanuggaha. Ia belajar seni dan kerajinan di Takkasila dibawah bimbingan guru terkenal. Gurunya sangat puas dengan kemajuan yang diperoleh oleh Dhanuggaha, ia menikahkan puterinya dengan Dhanuggaha. Si pemanah muda kemudian membawa isterinya menuju ke Benares.

Di dekat jalan masuk menuju hutan, ia bertemu dengan sekelompok penyamun, dan membunuh 50 penyamun dengan 50 anak panahnya. Ketika semua anak panahnya telah habis, ia menangkap pemimpin kelompok itu dan melemparnya ke tanah. “Istriku, ambilkan pedangku!” teriaknya. Tetapi, ketika istrinya melihat penyamun itu, timbul keinginan untuk memiliki penyamun itu, istrinya memberikan pegangan pedang itu ke tangan si penyamun. Penyamun itu segera membunuh si pemanah muda. Kemudian ia pergi membawa wanita itu bersamanya.

Dalam perjalanan, si penyamun berpikir, “Andai perempuan ini bertemu dengan laki-laki lain, ia akan membunuhku juga seperti yang dilakukannya terhadap suaminya itu. Apa gunanya perempuan seperti ini.” Ketika melihat sebuah sungai, si penyamun meninggalkan wanita itu di tepi sungai, mengambil semua perhiasan wanita itu, dan berkata, “Tunggu disini, sampai aku membawa perhiasanmu menyeberangi sungai.” Dan si penyamun itupun pergi menyeberang meninggalkan wanita itu disana.

Ketika wanita itu menyadari bahwa si penyamun telah meninggalkannya, ia berkata “Brahmana, engkau telah mengambil perhiasanku dan menyeberang ke sana. Kembalilah cepat, segera; sekarang bawalah aku juga ke seberang.” Penyamun itu menjawab, “Perempuan, kamu telah menukar suami yang telah kamu kenal lama dengan aku, suami yang engkau tidak kenal; engkau telah menukar suami yang telah kau ujicoba dengan suami yang belum kau ujicoba. Oh perempuan, kamu akan menukar aku dengan laki-laki lain. Karenanya aku akan pergi jauh-jauh darimu.”

Dewa Sakka, mengetahui kejadian itu, dan berkeingingan memberi pelajaran, menuju ke sungai itu bersama kusir dan pemusik pengiringnya. Sakka mengubah bentuk menjadi serigala, kusirnya menjadi ikan, dan pemusiknya menjadi burung. Serigala itu menggigit daging di mulutnya berdiri di depan perempuan itu. Kemudian ikan jelmaan si kusir meloncat di udara keluar dari air, dan serigala itu meloncat kemuka mencoba menerkam ikan itu, sambil menjatuhkan potongan daging di mulutnya. Burung jelmaan si pemusik menyambar potongan daging dan terbang ke udara. Sementara si ikan selamat kembali ke dalam air. Serigala itu kehilangan keduanya, ikan dan potongan daging.

Perempuan itu tertawa keras melihat kejadian itu, menertawakan si serigala yang kini kehilangan ikan dan daging. Serigala itu kemudian berkata, “Sangat mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi sulit melihat kebodohan diri sendiri. Kamu telah kehilangan suami dan juga kekasih. Aku yakin engkaupun merana.”
Wanita itu berkata, “Engkau berkata benar, mulai sekarang aku akan mematuhi suami”.
Serigala itu mengucapkan syair, “Ia yang mencuri pot tanah liat juga akan mencuri pot dari tembaga. Kamu telah melakukan kejahatan, kamu akan melakukannya lagi”.

Setelah menceritakan Culla Dhanuggaha Jataka ini, Sang Buddha berkata kepada bhikkhu muda tersebut, “Pada waktu itu, engkaulah Dhanuggaha si pemanah muda, isteri Dhanuggaha adalah si gadis muda itu, dan Dewa Sakka itu adalah aku.

Selasa, 19 Oktober 2010

Kisah Upaka

Sang Buddha membabarkan syair 353 Kitab Suci Dhammapada, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Upaka, petapa bukan Buddhis, ketika Sang Buddha sedang berjalan menuju Taman Rusa (Migadaya) tempat Kelompok Lima Bhikkhu (Panca Vaggi) sedang berdiam. Sang Buddha menuju ke sana untuk membabarkan Dhammacakkappavattana Sutta pada Panca Vaggi itu, mitra lamanya, yaitu Kondana, Bhaddiya, Vappa, Assaji, dan Mahanama.

Ketika Upaka melihat Sang Buddha Gotama, ia sangat terkesan dengan pancaran sinar wajah Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, "Kawan, Anda terlihat tenang dan murni; bolehkah saya tahu siapa guru Anda?" Kepadanya, Sang Buddha menjawab bahwa Beliau tidak mempunyai guru.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Sabbābhibhū sabbavidū ‘ham asmi
sabbesu dhammesu anūpalitto
sabbañjaho taṇhakkhaye vimutto
sayaṃ abhiññāya kam uddiseyyaṃ."

Aku telah mengalahkan semuanya, Aku telah mengetahui semuanya.
Aku telah bebas dari semuanya, Aku telah meninggalkan semuanya.
Setelah menghancurkan nafsu keinginan, Aku benar-benar bebas.
Setelah menyadari segala sesuatu melalui usaha sendiri, maka siapakah yang patut Ku-sebut Guru?

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Upaka tidak memperlihatkan penerimaan ataupun penolakan, tetapi hanya menggeleng beberapa kali dan pergi.


-----------------------
Notes :

Upaka menanyakan kepada Buddha mengenai pencapaianNya, ketika Sang Buddha mengatakan apa yang telah dicapaiNya, Upaka menayakan apakah Beliau adalah “Anantajina” (jina = penakluk, ananta = tidak terbatas), dan Sang Buddha mengiyakan. Upaka menggelengkan kepala, berkata “Mungkin demikian” dan kemudian meneruskan perjalannya.
Dikatakan (DA.ii.471) bahwa Sang Buddha berjalan kaki dari pohon Bodhi ke Isipatana – alih-alih terbang melalui udara seperti kebiasaan para Buddha sebelumnya ketika hendak memutar roda dhamma pertama kali – karena Beliau ingin bertemu Upaka.

Setelah pertemuan ini Upaka menuju Vankahara untuk bertapa disana, tetapi kemudian jatuh cinta kepada Capa, puteri seorang pemburu yang menjadi pendukungnya. Upaka tidak mau makan selama 7 hari dan akhirnya pemburu itu mengawinkan Upaka dengan Capa. Karena Upaka tidak memiliki keterampilan, ia hanya membantu-bantu si pemburu menjualkan hasil buruan, karenanya sering dihina oleh Capa. Ketika anak mereka menangis, Capa akan menyanyi, “Oh anak Upaka, anak penjual hasil buruan, jangan menangis”. Upaka kesal sekali dan berkata bahwa ia punya teman yang sangat hebat yang bernama Anantajina, tetapi Capa tidak berhenti menghinanya. Akhirnya Upaka pun pergi meninggalkan Capa dan anaknya, mencari ‘Anantajina’ pergi ke Savatthi.

Sang Buddha mengetahui Upaka datang mencarinya, berpesan kepada orang-orang, jika ada orang yang mencari Anantajina, supaya dibawa kepadaNya. Setelah mendengar cerita Upaka, Sang Buddha kemudian menahbiskannya sebagai bhikkhu dan mengajarkan Upaka meditasi. Upaka kemudian berhasil mencapai tingkat kesucian Anagami dan kemudian terlahir di surga Aviha. Menurut kitab komentar Majjhima (i.389) Upaka menjadi arahat segera setelah terlahir di Aviha.

Belakangan, Capa juga kemudian menjadi bhikkhuni, dan mencapai Arahat.

Jumat, 15 Oktober 2010

Kisah Gajah Bernama Paveyyaka

Gajah Paveyyaka ketika berusia masih muda sangat kuat; kemudian tiba saatnya ia menjadi tua dan lemah. Suatu hari, seperti biasanya Paveyyaka tua pergi ke suatu kolam dan ia terjebak dalam lumpur serta tidak dapat mencapai tepi. Ketika Raja Pasenadi dari Kosala diberitahu tentang hal itu, ia mengirim seorang pelatih gajah untuk menolong gajah itu keluar dari lumpur. Pelatih gajah itu pergi ke tempat gajah itu berada. Di sana, ia memerintahkan pemusik untuk membuat irama perang. Mendengar suasana militer, gajah itu merasa seakan-akan ia berada di medan perang. Semangatnya bangkit, ia mengangkat dirinya sendiri dengan seluruh tenaganya, dan segera keluar dari lumpur.

Ketika para bhikkhu menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu! Sama halnya dengan gajah itu menarik dirinya keluar dari lumpur, demikian pula, seharusnya kamu semua menarik dirimu sendiri keluar dari lumpur kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

“Appamādaratā hotha, sacittam anurakkhatha,
duggā uddharath` attānaṃ paṃke sanno va kuñjaro.”

Bergembiralah dalam kewaspadaan dan jagalah pikiranmu dengan baik;
bebaskanlah dari cara-cara yang salah, seperti seekor gajah melepaskan dirinya yang terbenam dalam lumpur.

Para bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Seekor Induk Babi Muda

Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan Beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda, Sang Buddha menjawab, "Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina dimasa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan khotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.

Suatu ketika, saat pergi ke kakus, sang Putri melihat belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikkan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia, ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai babi betina. Ananda ! Lihat, karena perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

"Yathāpi mūle anupaddave daḷhe
chinno pi rukkho punar eva rūhati
evam pi taṇhānusaye anūhate
nibbattati dukkham idaṃ punappunaṃ

Yassa chattiṃsatī sotā manāpassavanā bhusā
vāhā vahanti duddiṭṭhaṃ saṃkappā rāganissitā

savanti sabbadā sotā, latā ubbhijja tiṭṭhati
tañ ca disvā lataṃ jātaṃ mūlaṃ paññāya chindatha

saritāni sinehitāni ca
somanassāni bhavanti jantuno
te sātasitā sukhesino
te ve jātijarūpagā narā

tasiṇāya purakkhatā pajā
parisappanti saso va bādhito
saññojanasaṅgasattakā
dukkham upenti punappunaṃ cirāya

tasiṇāya purakkhatā pajā
parisappanti saso va bādhito
tasmā tasiṇaṃ vinodaye
bhikkhu ākaṃkha virāgam attano.”

Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi
apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan.
Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan,
maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.

Orang yang berpandangan salah, yang dalam dirinya 36 arus nafsu mengalir deras menuju obyek yang menyenangkan, akan terseret oleh pikiran yang penuh nafsu itu.

Arus nafsu keinginan mengalir menuju ke segala arah, tanaman menjalar nafsu keinginan bertunas dan tumbuh merambat.
Melihat tanaman menjalar itu, potonglah akar-akarnya dengan pisau kebijaksanaan.

Dalam diri makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar objek-objek indria,
dan mereka menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria.
Karena mengejar kenikmatan-kenikmatan indria dan melekat padanya,
mereka menjadi korban kelahiran dan kelapukan.

Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan,
berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak.
Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan,
maka mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.

Makhluk-makhluk yang terikat oleh nafsu-nafsu keinginan,
berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak.
Karena itu seorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan diri,
hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.

Kisah Hukuman Penjara

Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang ke Savatthi untuk berpindapatta. Ketika mereka sedang mengumpulkan dana makanan, mereka melihat beberapa tawanan sedang diangkut dengan kaki dan tangan terikat rantai. Ketika tiba kembali di vihara, setelah mengingat apa yang telah dilihat dipagi hari, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakan ada ikatan lain yang lebih kuat dari pada itu.

Kepada mereka Sang Buddha menjawab. "Para bhikkhu! Ikatan ini tidak ada artinya dibandingkan dengan nafsu keinginan akan makanan dan pakaian, akan kekayaan, serta akan keluarga. Nafsu keinginan ribuan, ratusan ribu lebih kuat daripada rantai itu, borgol, dan kurungan. Itulah sebabnya mengapa orang bijaksana memotong nafsu dan meninggalkan keduniawian, serta memasuki pasamuan para bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

"Na taṃ daḷhaṃ bandhanam āhu dhīrā
yad āyasaṃ dārujaṃ pabbajañ ca
sārattarattā maṇikuṇḍalesu
puttesu dāresu ca yā apekhā.

Etaṃ daḷhaṃ bandhanam āhu dhīrā
ohārinaṃ sithilaṃ duppamuñcaṃ
etam pi chetvāna paribbajanti
anapekhino kāmasukhaṃ pahāya."

Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu yang terbuat dari besi, kayu, ataupun rami
tidaklah begitu kuat.
Tetapi ikatan terhadap anak-anak, istri, dan harta benda,
sesungguhnya merupakan belenggu yang jauh lebih kuat.

Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu seperti itu amat kuat,
dapat melemparkan orang ke bawah (ke alam rendah), halus dan sukar untuk dilepaskan.
walaupun demikian, para bijaksana akan dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan,
serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.

Kisah Khema Theri

Ratu Khema merupakan istri utama dari Raja Bimbisara. Ia sangat cantik dan sangat bangga akan kecantikannya. Raja menginginkannya untuk pergi ke Vihara Veluvana dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha selalu berbicara meremehkan kecantikan, dan karenanya ia mencoba untuk menghindari berjumpa dengan Sang Buddha. Raja mengerti sikapnya terhadap Sang Buddha, ia juga tahu betapa bangganya ratu pada kecantikannya. Kemudian raja memerintahkan grup musiknya untuk menyanyikan lagu pujian tentang Vihara Veluvana, tentang tempatnya yang menyenangkan dan suasananya yang damai, dan sebagainya. Mendengar hal itu, Ratu Khema menjadi tertarik dan memutuskan untuk pergi ke Vihara Veluvana.

Ketika Ratu Khema tiba di vihara, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada para pendengar. Dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, Sang Buddha membuat penampakan seorang gadis muda yang sangat cantik muncul, duduk tidak jauh dari Beliau, dan sedang mengipasi Sang Buddha. Ketika Ratu Khema datang di ruang pertemuan, hanya ia sendiri yang melihat gadis cantik tersebut. Membandingkan kecantikannya yang luar biasa dari gadis tersebut dengan kecantikannya, Khema menyadari bahwa kecantikannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan gadis tersebut. Ketika Ratu memperhatikan dengan seksama gadis tersebut, tiba-tiba kecantikan gadis itu mulai memudar sedikit demi sedikit. Akhirnya Ratu melihat seorang wanita tua jompo, yang kemudian berubah menjadi mayat, tubuhnya yang berbau busuk diserang belatung. Segera pada saat itu, ratu Khema menyadari ketidak-kekalan dan ketidak-berhargaan kecantikannya.

Sang Buddha mengetahui keadaan pikiran Ratu Khema, kemudian Beliau berkata, "O Khema! Lihatlah baik-baik pada tubuh lapuk ini yang terbalut di sekitar kerangka tulang, dan merupakan sasaran penyakit dan kelapukan. Lihatlah baik-baik tubuh ini yang dihargai sedemikian tinggi oleh orang bodoh. Lihatlah pada ketidak-berhargaan kecantikan gadis muda ini." Setelah mendengar hal itu, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Ye rāgarattānupatanti sotaṃ
sayaṃkataṃ makkaṭako va jālaṃ
etam pi chetvāna vajanti dhīrā
anapekhino sabbadukkhaṃ pahāya."

Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan),
seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri.
Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meniggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Raja, “Oh Raja, Khema harus meninggalkan keduniawian, atau memasuki Nibbana”. Raja menjawab, “Bhante, terimalah ia dalam Sangha; sedangkan Nibbana, jangan!”.
Khema kemudian masuk dalam pasamuan bhikkhuni serta menjadi Siswa Utama wanita Sang Buddha.

------------------------
Notes :
* Bhikkhu Siswa Utama adalah Moggalana & Sariputta, dan bhikkhuni siswa utama adalah Khema & Uppalavana.

Diatas, dikatakan jika telah mencapai arahat, harus meninggalkan kehidupan duniawi atau merealisasi Nibbana (maksudnya meninggal dunia). Hal ini dikarenakan tidak mungkin lagi seorang arahat menjalani kehidupan duniawi. Sudah tidak cocok lagi, cara pandang, sikap dll. Coba perhatikan cerita-cerita lainnya, semua yang mencapai arahat kalau tidak menjadi bhikkhu/ni, maka ia akan meninggal tidak lama kemudian. Misalnya menteri Santati (kisah no. 142), Bahiya (kisah no.101), Brahmana dan isterinya (dua orang) di kisah no.225, dan juga Raja Suddhodana ayah pangeran Siddhartha yang meninggal segera setelah mencapai arahat (ThigA.141). Tidak ada yang hidup terus sebagai umat perumah tangga. Yang tercatat masih tetap terus hidup berumah tangga, maksimum hanya anagami.
Biasanya kalau bukan anggota Sangha tetapi mencapai arahat setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka segera masuk dalam persamuan Sangha. Contohnya Jambuka (kisah 70), Uggasena (kisah 348), Khema (kisah 347), Samanera dari Kosambi (kisah 96), Aggidatta dan semua pengikutnya (kisah 188-192)

Dalam hal ini karena Khema adalah seorang ratu dan masih memiliki suami, tentunya dia tidak leluasa memutuskan sendiri, hingga Buddha menanyakannya kepada Raja.

Pada masa Buddha Padumuttara, Khema adalah seorang budak. Ia menjual rambutnya untuk memberi dana makanan kepada Buddha Padumuttara, dan melihat murid utama wanita Sujata, ia bertekad untuk menjadi murid utama wanita Buddha yang akan datang. Sejak saat itu ia bekerja keras untuk memenuhi tekad itu.

Pada masa Buddha Kassapa, ia beranama Samani, putri tertua dari Kiki, Raja Benares. Bersama dengan saudari-saudarinya ia menjalani hidup selibat selama 20 ribu tahun dan membangun vihara untuk Buddha. Ia mempelajari Mahanidana Sutta setelah mendengar Buddha membabarkannya.

Pada masa Buddha Vipassi ia menjadi seorang bhikkhuni pembabar Dhamma yang terkenal. Dan pada masa Buddha Kakusandha dan Konagamana, ia juga membangun vihara untuk Buddha dan para bhikkhu.

Raja Bimbisara adalah Raja di kerajaan Magadha, memiliki beberapa orang ratu/istri yaitu

- Ratu Kosaladevi / Ratu Vaidehi, saudari Raja Pasenadi dari Kosala.
Dengan ratu Vaidehi, Raja Bimbisara memiliki anak, yaitu Ajatasattu. Ketika Ajatasattu dewasa, ia dihasut oleh Devadatta untuk menggulingkan Raja Bimbisara. Raja Bimbisara ditangkap, disiksa dan akhirnya mati. Dengan latar belakang kejadian ini, Ratu Vaidehi memohon Sang Buddha untuk mengutus murid Beliau untuk mengajarkan Dharma. Ketika Sang Buddha datang menampakkan diri, Ratu Vaidehi bertanya, dimanakah terdapat alam yang tiada kejahatan dan bagaimana dapat ke sana. Kemudian Sang Buddha menjelaskan panjang lebar metode meditasi yang digunakan. Kejadian ini terdapat di dalam Amitayur Dhyana Sutra. Di sutra ini dijelaskan bagaimana meditasi untuk lahir di alam Buddha Amitabha). (Sutra ini termasuk aliran Mahayana)

- Ratu Khema
- Padumavati dari Ujjeni, dengannya mempunyai putra bernama Abhayakumara
- selain itu juga memiliki anak bersama pelacur Ambapali dari Vesali, anaknya bernama Vimala Kondanna yang menjadi bhikkhu setelah kunjungan Buddha ke Vesali dan mencapai kearahatan segera sesudahnya. Mendengar khotbah Vimala Kondanna, Ambapali memasuki sangha bhikkhuni dan kemudian mencapai arahat juga.

Kisah Uggasena

Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.

Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan, jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan pemain akrobat maka ia tidak begitu berguna bagi rombongan tersebut. Sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.

Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini : "O kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!" Uggasena mendengar lagu itu, ia mengetahui bahwa istrinya membicarakan tentang dirinya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.

Kemudian, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum tujuh hari yang akan datang. Pada hari ketujuh, sebatang galah yang panjang dipasang, dan Uggasena berdiri di atasnya. Setelah diberi aba-aba, ia pun berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu.

Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha memasuki kota Rajagaha, beliau meniatkan agar para penonton mengalihkan perhatiannya kepada Beliau dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.

Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Muñca pure muñca pacchato
majjhe muñca bhavassa pāragū
sabbattha vimuttamānaso
na punañ jātijaraṃ upehisi."

Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun sekarang
(kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan)
dan capailah "Pantai Seberang" (nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu,
maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.