Jumat, 21 Mei 2010

Kisah Tiga Puluh Bhikkhu

Suatu saat tiga puluh bhikkhu datang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka masuk, Y.A. Ananda, yang berada di samping Sang Buddha, meninggalkan ruangan dan menunggu di luar. Setelah beberapa waktu, Ananda Thera masuk, tetapi dia tidak menemukan seorang bhikkhu pun. Sehingga, dia bertanya kepada Sang Buddha kemana para bhikkhu itu telah pergi. Kemudian Sang Buddha menjawab, "Ananda, kesemua bhikkhu itu, setelah mendengar khotbah saya, telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan dengan kemampuan iddhi, mereka meninggalkan ruang ini dengan terbang di udara."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Haṃsādiccapathe yanti
ākāse yanti iddhiyā
nīyanti dhīrā lokaṃhā
jetvā Māraṃ savāhanaṃ."

Kawanan angsa terbang di lintasan matahari,
orang-orang yang memiliki kekuatan gaib terbang di udara.
Orang bijaksana berjalan menuju kesucian
setelah menaklukkan Mara beserta bala tentaranya.

Selasa, 18 Mei 2010

Theravada

1. Theravada
Theravada (Pāli: थेरवाद theravāda; Sansekerta: स्थविरवाद sthaviravāda); secara harafiah berarti, "Ajaran Sesepuh" atau "Pengajaran Dahulu", merupakan mazhab tertua Agama Buddha yang masih bertahan. Ditemukan di India. Theravada merupakan ajaran yang konservatif, dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan Agama Buddha pada awalnya, dan selama berabad-abad menjadi kepercayaan yang berkuasa di Sri Lanka (sekitar 70% dari penduduk) dan sebagian besar benua di Asia Tenggara (Kambodia), (Laos), (Myanmar), (Thailand). Mazhab Theravada juga dijalankan oleh sebagian minoritas dari Barat Daya Cina oleh etnik Shan dan Tai), Vietnam (oleh Khmer Krom), Bangladesh (oleh etnik group dari Barua, Chakma, dan Magh), Malaysia dan Indonesia, dan yang belakangan ini mendapatkan lebih banyak popularitas di Singapura dan Negara Barat. Sekarang ini, mazhab Theravada dari Agama Buddha mencapai lebih dari 100 juta pengikut di seluruh dunia, dan dalam dekade terakhir ini mazhab Theravada telah menanamkan akarnya di Negara Barat dan di India.

2. Mahayana
Mahayana (berasal dari bahasa Sansekerta: महायान, mahāyāna yang secara harafiah berarti 'Kendaraan Besar') adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha. Mahayana, yang dilahirkan di India, digunakan atas tiga pengertian utama:
Sebagai tradisi yang masih berada, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada hari ini, yang lainnya adalah Theravada. Pembagian ini seringkali diperdebatkan oleh berbagai kelompok.
Menurut cara pembagian klasifikasi filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkat motifasi spiritual (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana) Berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai.
Menurut susunan Ajaran Vajrayana mengenai pembagian jalur pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.
Walaupun asal-usul keberadaan Mahayana mengacu pada Buddha Gautama, para sejarawan berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India pada abad ke 1, atau abad ke 1 SM. Menurut sejarawan, Mahayana menjadi gerakan utama dalam Agama Buddha di India pada abad ke 5, mulai masa tersebut naskah-naskah Mahayana mulai muncul pada catatan prasasti di India. Sebelum abad ke 11 (ketika Mahayana masih berada di India), Sutra-sutra Mahayana masih berada dalam proses perbaikan. Oleh karena itu, beragam sutra dari sutra yang sama mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan ini tidak dianggap oleh para sejarawan dalam membentuk sejarah Mahayana.
Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang, Korea dan Vietnam dan penganut Agama Buddha Tibet (etnis Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet). Aliran Agama Buddha Mahayana sekarang ini adalah "Pure Land", Zen, Nichiren, Singon, Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki aliran pengajaran baik Mahayana maupun Vajrayana.

3. Vajrayana
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi.

Kisah Pangeran Abhaya

Suatu waktu, Pangeran Abhaya pulang kembali dengan kemenangan setelah berhasil memberantas sebuah pemberontakan di perbatasan negara. Raja Bimbisara sangat senang kepadanya sehingga selama tujuh hari, Abhaya yang telah memberikan kejayaan dan kemuliaan negara mendapat sambutan dan hiburan, bersama seorang gadis penari untuk menghiburnya. Pada hari terakhir, ketika si penari sedang menghibur pangeran dan teman-temannya di taman, penari itu terkena stroke yang hebat, dia terjatuh dan meninggal dunia seketika. Pangeran terkejut dan amat sangat sedih. Dengan sedih, pangeran pergi menemui Sang Buddha untuk mencari pelipur lara. Kepadanya Sang Buddha berkata, "O Pangeran, air mata yang engkau cucurkan melalui kelahiran yang berulang-ulang tidak dapat diukur. Kumpulan-kumpulan di dunia ini (khandha) adalah tempat dimana orang bodoh terlelap di dalamnya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Etha passath’imaṃ lokaṃ
cittaṃ rājarathūpamaṃ
yattha bālā visīdanti
n’atthi saṅgo vijānataṃ."

Marilah, lihatlah dunia ini (panca khanda),
yang seperti kereta kerajaan yang penuh hiasan,
yang membuat orang bodoh terlelap di dalamnya.
Tetapi bagi orang yang mengetahui,
maka tak ada lagi ikatan dalam dirinya.

----------------------------------------
Notes :
Yup, kisah diatas mirip dengan kisah Menteri Santati di kisah nomer 142.

Kisah Sammajjana Thera

Sammajjana Thera menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menyapu halaman vihara. Pada waktu itu, Revata Thera juga tinggal di vihara, tetapi tidak seperti Sammajjana, Revata Thera mempergunakan sebagian besar waktunya untuk bermeditasi atau pemusatan batin secara mendalam. Melihat kebiasaan Revata Thera, Sammajjana Thera berpikir bahwa Thera-Thera yang lain hanya bermalas-malasan saja menghabiskan waktunya.

Suatu hari Sammajjana pergi menemui Revata Thera dan berkata, "Kamu sangat malas, hidup dari pemberian makanan yang diberikan dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati, tidakkah kamu berpikir kamu sewaktu-waktu harus membersihkan lantai, halaman, atau tempat-tempat lain?"

Revada Thera menjawab, "Teman, seorang bhikkhu tidak seharusnya menghabiskan seluruh waktunya untuk menyapu. Ia harus menyapu pagi-pagi sekali, kemudian pergi untuk menerima dana makanan. Setelah makan, sambil merenungkan kondisi tubuhnya ia harus berusaha untuk menyadari kesunyataan tentang kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha), atau lainnya, mengulang pelajaran sampai malam tiba. Kemudian ia dapat melakukan lagi pekerjaan menyapu jika ia menginginkannya."

Sammajjana Thera dengan tekun mengikuti saran yang diberikan oleh Revata Thera dan tidak lama kemudian Sammajjana mencapai tingkat kesucian arahat.

Bhikkhu-bhikkhu lain mengetahui sampah yang tertimbun di halaman. Mereka bertanya kepada Sammajjana, mengapa ia tidak menyapu seperti biasanya, Sammajjana menjawab, "Ketika saya tidak sadar, saya setiap saat menyapu, tetapi sekarang saya tidak lagi lengah." Ketika para bhikkhu mendengar jawaban tersebut, mereka menjadi sangsi, sehingga mereka pergi menghadap Sang Buddha, dan berkata, "Bhante, Sammajjana Thera secara tidak benar mengatakan dirinya sendiri telah menjadi seorang arahat, ia mengatakan yang tidak benar." Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Sammajjana telah benar-benar mencapai tingkat kesucian arahat, ia mengatakan hal yang sebenarnya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yo ca pubbe pamajjitvā
pacchā so na-ppamajjati
so ‘maṃ lokaṃ pabhāseti
abbhā mutto va candimā."

Barang siapa yang sebelumnya pernah lengah,
tetapi kemudian tidak lengah,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.

Rabu, 12 Mei 2010

Kisah Bodhirajakumara

Suatu ketika Pangeran Bodhi membangun sebuah istana yang sangat indah untuk tempat tinggalnya. Ketika istana tersebut selesai dibangun, ia mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan.

Untuk acara istimewa ini, ia menghias bangunan dengan memberi pengharum ruangan 4 macam wangi-wangian dan dupa. Juga, kain yang panjang dilembarkan di lantai untuk alas, mulai dari ambang pintu sampai ke dalam ruangan. Karena ia tidak mempunyai anak, pangeran menyatakan harapan yang sungguh-sungguh, berkata dalam hati: "Bila aku dapat mempunyai anak, Sang Buddha akan menginjak kain ini."

Ketika Sang Buddha tiba, Pangeran Bodhi dengan hormat memohon kepada Beliau sebanyak 3 kali untuk memasuki ruangan. Tetapi Sang Buddha tidak beranjak, hanya melihat pada Ananda. Ananda mengerti dan meminta kepada Pangeran Bodhi untuk memindahkan kain dari ambang pintu. Dan Sang Buddha pun masuk ke dalam istana.

Kemudian pangeran mempersembahkan makanan yang enak dan terpilih kepada Sang Buddha. Selesai makan, pangeran bertanya : " Bhante, mengapa Bhante tidak mau berjalan di atas kain alas?"

Sang Buddha bertanya balik kepada pangeran: "Bukankah pangeran membentangkan kain itu dengan harapan agar dikaruniai anak apabila Buddha berjalan di atas kain itu?"

Pangeran membenarkan pertanyaan itu. Kepadanya Sang Buddha mengatakan bahwa ia dan istrinya tidak akan memperoleh anak akibat perbuatan jahat yang mereka lakukan dimasa lampau. Sang Buddha kemudian menceritakan kisah masa lalu mereka.

Pada salah satu kehidupan mereka yang lampau, pangeran dan istrinya adalah satu-satunya orang yang selamat dari bencana kapal. Mereka terdampar pada pulau yang tidak berpenghuni. Disana mereka hidup dengan memakan telur-telur burung, anak-anak burung, dan burung, tanpa perasaan menyesal satu saat pun. Untuk perbuatan jahat itu, mereka tidak dikaruniai anak. Jika mereka mempunyai rasa sesal atas perbuatan mereka pada salah satu saat, mereka akan mempunyai satu atau dua orang anak pada kehidupan sekarang.

Kembali kepada pangeran, Sang Buddha berkata, "Seseorang yang mencintai dirinya sendiri harus menjaga dirinya sendiri di semua tahap kehidupan, atau sedikitnya dalam satu tahap kehidupannya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Attānañ ce piyaṃ jaññā
rakkheyya naṃ surakkhitaṃ
tiṇṇaṃ aññataraṃ yāmaṃ
paṭijaggeyya paṇḍito."

Bila orang mencintai dirinya sendiri,
maka ia harus menjaga dirinya dengan baik.
Orang bijaksana selalu waspada
selama tiga masa dalam kehidupannya.

Bodhirajakumara mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

--------
Notes :
Maksud tahap kehidupan di atas adalah masa kanak-kanak, masa muda, dan masa tua.
Cara terbaik menjaga diri sendiri adalah dengan mempraktekkan kebajikan.

Kisah Devadatta

Suatu hari beberapa bhikkhu sedang bercakap-cakap diantara mereka sendiri, kemudian Sang Buddha tiba dan bertanya apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka menjawab bahwa mereka sedang berbicara tentang Devadatta dan kemudian mereka melanjutkan, "Bhante, Devadatta adalah sungguh seorang yang tidak mempunyai moralitas, ia juga sangat serakah. Ia berusaha mendapat ketenaran dan peruntungan dengan memperoleh kepercayaan Ajatasattu melalui cara yang tidak jujur. Ia juga berusaha meyakinkan Ajatasattu bahwa dengan menyingkirkan ayahnya, ia akan segera menjadi raja yang berkuasa. Setelah dihasut oleh Devadatta, Ajatasattu membunuh ayahnya, raja yang mulia, Bimbisara. Devadatta juga telah mencoba tiga kali untuk membunuh-Mu, Guru kami yang mulia. Devadatta benar-benar sangat jahat dan tidak dapat diperbaiki."

Setelah mendengarkan para bhikkhu, Sang Buddha mengatakan pada mereka bahwa Devadatta telah mencoba membunuhnya tidak hanya pada kehidupan sekarang tetapi juga pada kehidupan yang lampau. Sang Buddha kemudian menceritakan cerita tentang pemburu rusa.

"Saat itu, ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Baranasi, Sang Bodhisatta hidup sebagai seekor rusa, dan Devadatta saat itu adalah seorang pemburu rusa. Suatu hari, pemburu rusa melihat jejak kaki rusa di bawah sebatang pohon. Kemudian ia memasang bilah-bilah bambu diatas pohon itu sebagai tempat berpijak, dan menunggu dengan tombak yang siap dihunjamkan ke rusa. Rusa tersebut kemudian datang, tetapi ia datang dengan hati-hati. Pemburu rusa melihatnya ragu-ragu, melemparkan beberapa buah-buahan untuk membujuknya. Tetapi hal itu justru membuat rusa waspada; ia memperhatikan dengan lebih seksama dan melihat ada pemburu rusa pada dahan pohon. Rusa itu pura-pura tidak melihat pemburu tersebut dan berbalik dengan lambat. Dari jarak tertentu, rusa berseru: ‘Oh pohon, kamu selalu menjatuhkan buah-buahmu secara vertikal, tetapi hari ini kamu telah menentang hukum alam dan telah menjatuhkan buah-buahmu secara miring. Sejak kamu menentang hukum alam dari pohon, saya akan meninggalkanmu untuk berpindah ke pohon lain.’

Melihat rusa tersebut berbalik pergi, pemburu melempar tombaknya ke tanah dan berkata, ‘Ya, kamu sekarang dapat pergi; untuk hari ini, saya telah salah perhitungan.’ Rusa yang sebagai calon Buddha tersebut menjawab, ‘O, pemburu, kamu benar-benar salah perhitungan hari ini, tetapi perbuatan (kamma) burukmu tidak akan keliru, hal itu akan selalu mengikutimu.’

Jadi, Devadatta tidak saja mencoba membunuhku sekarang tetapi juga dimasa lalu, tetapi ia tidak pernah berhasil."

Kemudian Sang Buddha melanjutkan, "Para bhikkhu! Seperti tanaman menjalar yang menjerat pohon tempat tinggalnya, demikian juga ia yang tidak mempunyai moral, dikuasai oleh nafsu keinginan, akhirnya akan terlempar ke alam neraka (niraya)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Yassa accantadussīlyaṃ
māluvā sālam iv’otataṃ
karoti so that’attānaṃ
yathā naṃ icchatī diso."

Orang yang berkelakuan buruk
adalah seperti tanaman menjalar maluva yang melilit pohon sala.
Ia akan terjerumus sendiri,
seperti apa yang diharapkan musuh terhadap dirinya.

Pada akhir khotbah, banyak orang mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Penyebaran Buddha Mahayana

Bila anda sering menonton film, anda tentu tahu film kera sakti yaitu perjalanan ke Barat untuk mengambil kitab suci. Berarti disini akan diceritakan perjalanan ke timur dalam penyebaran ajaran Buddha. Ajaran Buddha Mahayana disebut ajaran Buddha Tiongkok yang identik dengan Shaolin-nya. Dimana ajaran ini juga terdapat di negara Korea, Jepang dan Vietnam, dengan kitab sucinya Maha Tripitaka (Da Zang Jing) kanon sansekerta dan bahasa mandarin.

Tiongkok yang identik dengan ajaran Mahayana bukan berarti tidak ada ajaran lainnya. Sekte yang ada antara lain Hinayana dengan sekte Abhi Dharma Kosa (Ju She Zong), Satya Siddhi (Cheng Shi Zong) dan Mahayana dengan sekte Dharma Laksana (Fan Xian Zong), Tri-Sastra (Sam Lum Zung), Vinaya (Lu Zong), Avatamsaka (Hua Yan Zong), Tian Tai (Fa Hua Zong) dengan sub-sekte yang dikenal dari Jepang dengan nama Nichiren, Tantra (Zhe Yan Zong), Sukhavati (Jin Tu Zong) yang kita kenal dengan Buddha Amitabha (E Mi Tuo Fo), Bodhisatwa Avalokitesvara (Guan Yin Pu Sa) dan Maha Sthanaprapta (Da Shi Zhi Pu Sa), Zen (Chan Zong) dengan sub-sekte Lin Jin Zong, Wei Ji Zong, Cao Dong Zong, Yun Men Zong, Fa Yan Zong.

Ajaran Mahayana di Indonesia erat dengan sekte Zen. Hal ini dikarenakan perantau Tionghoa yang datang ke Indonesia mayoritas berasal dari Fujian dan Guan Dong, Tiongkok Selatan dimana sekte ini sangat dominan di propinsi tersebut. Bila diperhatikan maka tampak bahwa vihara-vihara Buddha Mahayana di Indonesia mempunyai hubungan dengan vihara induknya di negeri asalnya. Vihara di propinsi Fujian antara lain Kai Yuan Si, Guang Hua Si, Xi Chan Si, Chong Fu Si, dan Yung Quan Si. Sedangkan di Guan Dong antara lain Guang Xiao Si, Nam Hua Chan Si, Liu Rong Si, Yun Men Si, Bie Chuan Si, dan Kai Yuan Si.

Pada masa ini pembelajaran ajaran Mahayana banyak didapat dari Singapore, Hongkong dan Taiwan dikarenakan pada masa orde baru, Tiongkok dianggap negara komunis dan tidak ada hubungan diplomasi. Demikian datangnya ajaran agama Buddha Taiwan.

Perkembangan ajaran Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua yaitu Buddha Mahayana dan Buddha Tri-Dharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Sedangkan, Buddha Tri-Dharma (Buddha Klenteng)yang ada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan budaya tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Dimana pengembangnya antara lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.

Sekilas, sekte Tantra ternyata pernah ada di Indonesia yaitu pada abad ke 9 yang kemudian hilang. Sekte Tantra Indonesia ini dimulai ketika kedatangan Subha Karasingha,Vajra Bodhi dan Amongha Vajra ke Indonesia. Ketika penyebarannya ke Tiongkok, ajaran tantra ini diturunkan kepada Hui Guo. Dimana murid Hui Guo yang bernama Ban Hong dari kerajaan Kalingga Indonesia. Dimana ini yang akan menjadi cekal bakalnya Tantra Laut Kidul (Tantra Borobudur).

Candi Kuno Mahayana banyak terdapat di Indonesia. Candi dari abad ke 9 antara lain situs candi Mendut, Pawon, Borobudur, Kalasan, Sewu, Plaosan yang mana terdapat di Jawa Tengah, kabupaten Magelang dan DI Yogyakarta. Candi dari abad ke 11, situs candi Muara Jambi di Sumatra, Jambi. Candi abad ke 12, situs candi Muara Takus di Sumatra Riau, Pekanbaru.

Kisah Upasaka Culakala

Culakala adalah seorang upasaka yang sangat mentaati peraturan uposatha pada hari-hari tertentu dan tinggal sepanjang malam di Vihara Jetavana, untuk mendengarkan uraian Dhamma. Keesokan pagi harinya, ketika ia mencuci muka di kolam dekat vihara, beberapa pencuri meninggalkan seberkas barang curian di dekatnya. Pemilik barang melihat Culakala berada dekat barang-barangnya yang dicuri. Mengira Culakala adalah pencurinya, ia memukulnya dengan keras. Untunglah beberapa pelayan wanita yang datang untuk mengambil air dan menyatakan bahwa mereka mengenalinya, bahwa ia bukanlah pencuri. Kemudian Culakala dilepaskan.

Ketika Sang Buddha mendengar hal tersebut, Beliau berkata kepada Culakala, "Kamu dilepaskan tidak hanya karena pelayan-pelayan wanita berkata bahwa kamu bukanlah pencuri, tetapi juga karena kamu tidak mencuri dan oleh sebab itu kamu tidak bersalah. Barang siapa yang berbuat jahat akan ke alam neraka (niraya), tetapi barang siapa yang berbuat baik akan terlahir kembali di alam sorga (dewa) atau merealisir kebebasan mutlak (nibbana)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Attanā va kataṃ pāpaṃ attanā saṃkilissati
attanā akataṃ pāpaṃ attanā va visujjhati
suddhī asuddhī paccattaṃ nāñño aññaṃ visodhaye."

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat menyucikan orang lain.

Upasaka Culakala mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.