Kamis, 21 Maret 2013

Muka Si Tukang Daging


Ch’ien Meihsi mencatat cerita tentang Hsueh Ch’ingkuan, seorang tukang jagal kambing. Dia menjalankan toko kecilnya sendiri yang menjual kambing dan sup kambing. Kelezatan sup kambingnya yang terkenal menyebar luas membawa banyak pelanggan. Beberapa orang bahkan melakukan perjalanan berhari-hari untuk memakan supnya, dan mereka semua pulang dengan puas.
Dengan usaha seperti itu, Hsueh menjadi kaya dalam waktu singkat.
Beberapa temannya yang beragama Buddha memberitahu kepadanya untuk tidak membunuh lebih banyak kambing. “Kau telah menghasilkan cukup uang. Jangan serakah. Kita bukan binatang buas di hutan. Membunuh hewan adalah kejahatan serius terhadap alam. Kau tidak dapat lolos darinya. Cepat atau lambat perbuatan burukmu akan dibalas, dan saat itu tidak peduli berapa banyak pun uang yang kau miliki, tidak akan berguna.”
“Hsueh, mengapa kau tidak menggunakan uangmu untuk diinvestasikan ke jenis usaha yang lain? Kau tetap dapat menghasilkan banyak uang, dan pada saat yang sama kau dapat bertobat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk memperbaiki segala kejahatanmu. Kalau tidak, kau akan berada dalam kesulitan, bahkan anak cucumu akan terkena akibatnya.”
Tidak ada orang yang suka mendengar nasihat baik. Hsueh hanya mendengus dan bersikap meremehkan, “Saya terlalu pintar untuk percaya pada dongeng nenek-nenek. Jangan berpikir kau bisa menakut-nakutiku dengan dongeng-dongeng ini! Kejahatan terhadap alam! Tidak masuk diakal!”
Ketika Hsueh berumur empat puluh tahunan, dia terkena penyakit aneh. Mulutnya mulai menggelayut ke depan, dan dagunya memanjang. Pandangan matanya bodoh. Sungguh, dia kelihatan seperti seekor kambing!
Tidak lama kemudian semua orang di sekitar rumahnya mengetahui kalau Hsueh Ch’ingkuan kelihatan seperti seekor kambing. Mereka semua datang untuk melihatnya sendiri. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepadanya, tapi setiap hari, orang-orang datang untuk melihat Hsueh. Kemudian mereka akan berpaling pada teman-teman mereka dan saling berbisik-bisik dan menganggukkna kepala. Hsueh sebentar saja sudah capek diperlakukan demikian! Tidak ada dokter yang bisa menolongnya, tetapi mereka semua setuju, dia kelihatan seperti kambing!
Hsueh amat frustasi sampai-sampai dia berpikir dia akan menjadi gila, tapi dia terlalu angkuh untuk mengakui kalau dia mungkin telah bersalah. Dia menolak untuk mengakui bahwa mungkin dia seharusnya tidak membunuh begitu banyak kambing.
Akhirnya, dalam sebuah perjalanan bisnis ke Anhui, dia jatuh ke sungai dan tenggelam. Tidak ada yang menemukan mayatnya.
Hal yang menyedihkan adalah mestinya Hsueh tidak usah menderita malu dan mati mendadak. Jika dia tidak sedemikian serakahnya dan lebih bersedia untuk mempertimbangkan kata hatinya, dia dapat hidup lama dan bahagia.
Tetapi uang, kebodohan, dan kekeraskepalaan lebih berharga untuknya daripada kebahagiaan, kesehatan, dan kebijaksanaan.

Cerita Angsa dan Kura-Kura

Ada sepasang Kura-Kura dan Angsa yang hidup di sebuah telaga yang bernama telaga Kumudawati. Telaga itu sangat indah serta banyak bunga-bunga berwarna-warni yang tumbuh di sana. Kura-kura yang jantan bernama Durbhuddhi dan yang betina bernama Katcapa. Angsa yang jantan bernama Cakrengga dan yang betina bernama Cakrenggi. Kedua pasang binatang itu sudah lama bersahabat. 
Musim kemarau telah tiba, di telaga telah mulai mengering. Kedua angsa akan berpamitan dengan sahabatnya karena angsa tidak bisa hidup tanpa air, maka kami akan meninggalkan telaga Kumdawati ini menuju telaga Manasasaro di pegnungan Himalaya. Kura-kura tidak bisa melepaskan kepergian kedua sahabatnya itu.
Akhirnya kura-kura memutuskan untuk ikut bersama dengan angsa. Angsa kemudian mau mengajak kura-kura pergi bersama dengan dirinya yaitu dengan cara kura-kura menggigit tengah-tengah kayu dan angsa yang akan memegang ujung-jungnya. Tetapi dengan persyaratan jangan lengah, janganlah sekali-kali berbicara dan jangan melihat di bawah atau jika ada orang yang bertanya jangan sekali menjawab. Kura-kura lalu berpegangan di tengah-tengah kayu dengan mulutnya, sedangkan kedua ujung-ujungnya dipegang oleh angsa.
Setelah tepat berada di tanah lapang Wila Jenggala ada sepasang anjing srigala yang berlindung di bawah pohon mangga yang jantan bernama Si Nohan dan yang betina Si Bayan. Srigala betina melihat ke atas dilihatnya angsa terbang membawa sepasang kura-kura lalu Srigala berkata pada suaminya, ayah cobalah lihat ke atas betapa aneh angsa terbang membawa sepasang kura-kura. Srigala jantan menjawab itu bukan kura-kura namun itu adalah kotoran sapi. Demikian omongan tersebut didengar oleh kura-kura, mendengar kura-kura dibilang kotoran sapi oleh Srigala, kura-kura lalu marah dan melepaskan gigitannya pada kayu dan akhirnya kura-kura itu jatuh dan dimakan oleh srigala. Angsa tinggal dengan perasaan kecewa dan menyayangkan kenapa kura-kura tidak mau mendengarkan nasehatnya.