Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang memantau dunia (dengan mata batinNya), Beliau melihat bahwa batin orang tua Magandiya telah berkembang secara spiritual. yang dibutuhkan adalah satu pernyataan dari Beliau untuk membuka mata mereka terhadap Kesunyataan. Sang Buddha pergi ke tempat di mana Brahmana tersebut sedang membuat upacara pengorbanan untuk dewa api di luar desanya.
Ketika ayah Magandiya melihat Sang Buddha datang, dia begitu tertegun dengan keindahan fisik Sang Buddha, ketenangan serta keanggunanNya. Tidak ada yang lebih baik dari pada orang ini untuk dinikahkan kepada putriku, pikir sang Brahmana.
“Jangan pergi dulu, wahai pertapa”, kata dia, “tinggallah di sini sampai aku membawa putriku menemuimu. Engkau adalah pasangan yang ideal baginya, dan juga sebaliknya. Sang Buddha tidak berkata-kata dan tetap diam, sebagai gantinya Beliau menandai jejak kakinya di tanah dan kemudian pergi. Dengan sangat gembira sang Brahmana menyampaikan berita tersebut kepada istrinya. “Cepat dandani putri kita, sayangku. Aku telah menemukan seorang laki-laki yang pantas bagi putri kita”. Ketika ketiga orang tersebut tiba di tempat tadi, Sang Buddha sudah tidak kelihatan. Mereka hanya mendapati jejak kakiNya. Sang istri, yang sudah biasa dengan tanda-tanda, membaca jejak kaki tersebut, dan berkata “Saya pikir, ini bukanlah jejak kaki dari orang yang mau menikahi putri kita, jejak ini adalah milik dari seseorang yang telah melepaskan kesenangan duniawi”.
“Lagi-lagi kamu dan tanda-tandamu itu. Kamu melihat buaya-buaya di dalam pot air, dan perampok-perampok di tengah rumah. Lihat, itu Dia sedang duduk di bawah pohon. Sayangku, pernahkah kamu melihat seseorang yang begitu mengagumkan penampilannya ?! Kemarilah, putriku. Kali ini pelamarmu demikian sempurna, di mana kamu tak dapat menemukan kekurangannya”.
Mendengar hal ini, Sang Brahmana dan istrinya langsung mengerti bahwa kehidupan duniawi adalah menyedihkan dan bukan sesuatu yang pantas untuk dilekati, tak peduli bagaimana menarik atau indah penampilannya. Saat itu juga, mereka berdua mencapai tingkat Anagami, yaitu tingkat kesucian yang ketiga. Tapi malangnya, Magandiya yang sombong, yang batinnya belum berkembang secara spiritual, tidak dapat mengerti arti yang sesungguhnya dari kata-kata ini. Ia mengira Sang Buddha menghina kecantikannya. “Bagaimana bisa Pertapa ini menghinaku, sementara begitu banyak laki-laki yang takluk kepada kecantikanku pada pandangan pertama. Meskipun jika ia tidak ingin menikahiku, ia tidak seharusnya mengatakan bahwa tubuhku ini penuh dengan kekotoran”. Sambil mengepalkan kedua telapak tangannya, ia menggeram di sela-sela nafasnya, “Kamu tunggu saja, hai pertapa. Bilamana aku menikah dengan seorang suami yang berkuasa, aku akan membalas semua ini”.
Singkat cerita, Magandiya kemudian menikah dengan raja dari negeri Udena. Ketika ia mendengar bahwa Sang Buddha telah memasuki kota tersebut, kebenciannya terhadap Sang Buddha muncul kembali. Lalu ia menyogok dan menghasut orang-orang untuk menghina Sang Buddha dan untuk mengusir Beliau. Ananda, yang sedang bersama Sang Buddha, tidak ingin berdiam di sana dan menerima hinaan-hinaan tersbut, tetapi Sang Buddha menasihatinya untuk mempraktikkan toleransi dan kesabaran. Sang Buddha berkata, “Seperti seekor gajah di medan perang yang sanggup menahan anak-anak panah yang dilepaskan dari busurnya, demikian juga Tathagata akan menahan cercaan dari orang-orang yang tak beragama”. Sang Buddha berkata bahwa kata-kata yang menyakitkan tersebut tak akan bertahan lama, karena adanya kekuatan kesempurnaan yang dimiliki oleh Sang Buddha. Mereka akhirnya tetap tinggal di Udena, dan semua cercaan tersebut berhenti dalam waktu yang singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar