Namun, pada suatu hari si penjual Mie Makassar berpikir, "Sekarang pelanggan kami berdua sama banyaknya, kalau saya mampu membuatnya keluar dari bisnis, pasti pelanggan mereka akan pindah ke saya sehingga keuntungan saya bisa jadi 2 kali lipat!" Pemikiran yang cukup logis namun agak serakah. Lalu, dilakukanlah berbagai cara oleh si pengusaha mie ini mulai dari mensabotase sampai menuduh si pengusaha mie Bangka menggunakan formalin berlebihan untuk membuat mienya. Dengan sedikit sogokan, maka kedai mie Bangka pun tutup dan tamat riwayatnya. Si mie Makassar melaju sendirian di bisnis kedai mie untuk wilayah itu.
Rencananya sudah berhasil, namun pelanggan Mie Makassar tidak bertambah dan juga tidak berkurang. Malah lama kelamaan berkurang. Lalu si pemilik kedai berpikir, "mengapa? Bukankah aku satu-satunya pemilik kedai mie di daerah ini?" Selidik punya selidik, ternyata para penduduk sana sudah jemu dengan mie yang ada. Dahulu, mereka punya pilihan. Kalau bosan dengan mie Makassar, mereka bisa makan mie Bangka... kalau sudah eneg dengan mie Bangka, mereka makan mie Makassar. Namun, karena yang tersedia cuma mie Makassar, maka selera penduduk sekitar sama sekali tidak membantunya.
Yah... entah ayat Tripitaka mana yang bisa diasosiasikan, tapi pokoknya ceritanya cuma fiksi kok, rekaan semata

Namun dalam Buddhisme saya mengenal tidak ada kebenaran yang mutlak (ini diajarkan teman saya, sdr Zhou Wen Han). Benar juga, seandainya mereka gabung kekuatan ceritanya bakal lain walau hanya ada satu kedai di sana. Atau bila salah satu membeli kedai yang lain dan menggunakan ketrampilan mereka dengan baik. Saya cuma sekedar berbagi cerita... sebenarnya di kepala saya ini terdapat banyak cerita. Kapan2 saya bagi2 lagi.
Dengan Metta,
Semoga semua mahkluk berbahagia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar