Suatu saat, seorang perumah tangga merasa sangat sedih atas kematian putranya. Dia sering ke makam dan menangis di sana. Suatu pagi, Sang Buddha melihat perumah tangga kaya tersebut dalam penglihatan Beliau. Oleh karena itu, Sang Buddha bersama seorang bhikkhu pergi menuju ke rumah perumah tangga kaya tersebut.
Di sana, Sang Buddha bertanya kepada lelaki tersebut mengapa dia merasa sangat tidak bahagia. Lelaki tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha tentang kematian putranya, dan tentang kesedihan serta duka cita penderitaannya. Kepadanya, Sang Buddha berkata, "Murid-Ku, kematian tidak hanya terjadi di satu tempat. Semua mahluk yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian pada suatu hari, sesungguhnya kehidupan berakhir dengan kematian. Kamu harus menyadari kenyataan bahwa kehidupan berakhir dengan kematian. Janganlah kau anggap hanya putra tersayangmu saja yang mengalami kematian. Jangan terlalu sedih ataupun terlalu goncang. Duka cita dan ketakutan timbul dari kesayangan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Piyato jāyatī soko
piyato jāyatī bhayaṃ
piyato vippamuttassa
n’atthi soko kuto bhayaṃ."
Dari yang disayangi timbul kesedihan,
dari yang disayangi timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari yang disayangi,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.
Perumah tangga kaya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Senin, 21 Juni 2010
Kisah Tiga Pertapa
Suatu ketika terjadi di Savatthi, di suatu rumah tangga di Savatthi, ada seorang putra satu-satunya, yang merupakan kesayangan dan kebahagiaan ayah ibunya. Suatu hari beberapa orang bhikkhu diundang untuk menerima dana makanan di rumah itu, dan setelah mereka selesai makan, mereka membacakan melantunkan kata-kata Dhamma. Ketika pemuda itu mendengarkan kata-kata Dhamma tersebut, tiba-tiba ia berkeinginan menjadi bhikkhu, dan langsung meminta ijin kepada ayah dan ibunya. Mereka menolak keinginannya tersebut. Kemudian timbullah pikiran dalam dirinya, “Ketika ibu dan ayah tidak melihat, aku akan meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhu”.
Tiap kali sang ayah pergi keluar rumah, ia menitipkan putranya itu kepada sang ibu sambil berkata, “Tolong jaga putra kita baik-baik”. Dan tiap kali sang ibu pergi keluar rumah, ia juga menitipkan putranya itu kepada sang ayah.
Suatu hari, setelah sang ayah pergi, sang ibu berkata kepada dirinya sendiri, “Aku akan menjaga putraku baik-baik.”. Kemudian ia duduk di lantai di tengah-tengah pintu dengan kedua kaki menjulur ke kiri dan kanan menutupi sisinya, dan mulai memintal benang. Pemuda tersebut berpikir, “Aku akan mengakalinya dan melarikan diri”. Lalu ia berkata kepada ibunya, “Ibu sayang, coba geser kakimu sedikit, aku mau ke belakang buang air.” Ibunya menarik kakinya, dan pergilah si pemuda itu keluar. Ia pergi ke vihara secepat mungkin dan kemudian meminta para bhikkhu untuk menerimanya dalam pasamuan bhikkhu. Para bhikkhu menyetujui permintaannya dan menerimanya ke dalam Sangha.
Ketika sang ayah pulang ke rumah, ia bertanya kepada sang ibu, “Dimanakah putraku?”. “Suamiku, tadi dia ada disini.” “Dimanakah kemungkinannya putraku berada?”, pikir sang ayah sambil mencari-cari. Tidak menemukannya, ia berkesimpulan, “Ia pasti telah pergi ke vihara.” Maka sang ayah pergi ke vihara dan ketika melihat putranya telah mengenakan jubah bhikkhu, ia menangis dan meratap sambil berkata, “Oh anakku, mengapa kau hancurkan diriku?” Tetapi sejenak kemudian, ia berpikir, “Sekarang putraku telah menjadi bhikkhu, untuk apa aku hidup berumah tangga lagi?” Maka iapun meminta kepada para bhikkhu untuk menerimanya ke dalam Sangha, dan saat itu pula ia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi bhikkhu.
Sang ibu yang menunggu di rumah berpikir, “Mengapa putra dan suamiku lama sekali?” Tiba-tiba terpikir olehnya, “Pasti mereka telah pergi ke vihara dan menjadi bhikkhu.” Maka ia pun pergi ke vihara, dan melihat putra dan suaminya telah memakai jubah bhikkhu, ia berpikir, “Putra dan suamiku keduanya telah menjadi bhikkhu, lalu apa gunanya aku tetap tinggal di rumah?” Dan dengan keinginan sendiri, ia pun memasuki Sangha Bhikkhuni dan meninggalkan keduniawian.
Tetapi walaupun ibu, ayah dan anak tadi telah meninggalkan keduniawian, mereka tidak bisa berpisah satu sama lain; baik dalam lingkup vihara, ataupun dalam lingkungan bhikkhuni, mereka selalu duduk bersama dan menghabiskan waktu dengan mengobrol diantara mereka.
Para bhikkhu melaporkan hal tsb kepada Sang Buddha. Sang Buddha memanggil mereka dan bertanya, “Apakah benar, kalian melakukan ini dan itu?”. Mereka mengiyakan.
Sang Buddha kemudian berkata, “Mengapa kalian melakukannya? Itu bukanlah hal yang pantas dilakukan bagi bhikkhu dan bhikkhuni.”
“Tetapi sangat tidak mungkin bagi kami untuk hidup berpisah”, jawab mereka.
“Sejak meninggalkan kehidupan duniawi, berlaku demikian sungguh tidak pantas; memang sangat menyakitkan untuk tidak melihat orang yang kita sayangi, dan juga menyakitkan jika kita terpaksa harus melihat orang yang tidak kita sayangi; karenanya, baik terhadap orang maupun benda-benda, seseorang seharusnya tidak membeda-bedakan mana yang disayang ataupun tidak disayang.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"ayoge yuñjaṃ attānaṃ yogasmiñ ca ayojayaṃ
atthaṃ hitvā piyaggāhī pihet’ attānuyoginaṃ
mā piyehi samāgañchi appiyehi kudācanaṃ
piyānaṃ adassanaṃ dukkhaṃ appiyānañ ca dassanaṃ.
tasmā piyaṃ na kayirātha piyāpāyo hi pāpako
ganthā tesaṃ na vijjanti yesaṃ n’atthi piyāppiyam."
Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari,
dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan (sila, samadhi, dan panna)
serta melekat pada kesenangan duniawi
akan merasa iri terhadap hasil yang diperoleh orang yang tekun dalam latihan.
Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai,
keduanya merupakan penderitaan.
Oleh karena itu, seseorang hendaknya tidak menyenangi apapun;
berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan
tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas
dari mencintai dan tidak mencintai.
-----------------------------------
Notes :
Syair diatas bukanlah berarti kita menjadi orang yang dingin dan kejam tanpa cinta kasih.
Tetapi yang harus dilepas adalah cinta/sayang yang didasari oleh kemelekatan. Kita mencintai orangtua/anak kita karena kita berpikir, ini orangtuaKU, ini anakKU, ini darah dagingKU.
Perhatikan syair diatas banyak sekali kata ‘piya’, dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai affection, dear one, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai cinta/sayang/suka.
Tetapi dalam hal ini, cinta/sayang/suka hanya tertuju kepada hal-hal/benda-benda/orang-orang tertentu.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan Metta dan Karuna. Dalam bahasa Inggris, metta diterjemahkan menjadi loving-kindness, Karuna = compassion. Dalam bahasa Indonesia, metta diterjemahkan menjadi cinta-kasih dan karuna = belas kasih / welas asih.
Dua kata yang berbeda, piya dan metta, tetapi sayangnya dalam bahasa Indonesia, sama-sama diterjemahkan menjadi cinta karena kosakatanya kurang banyak. Akibatnya orang suka bingung dan mengira, kalau menjadi buddhist, kita harus cuek, menjadi dingin dan tidak perduli, nggak cinta :) .
Padahal, sebenarnya yang harus kita lepas adalah piya, dan yang harus kita kembangkan adalah metta. Metta adalah rasa cinta kasih kepada semua makhluk dan ingin membuat semua berbahagia.
Melepaskan ‘piya’ bukan berarti kita menjadi dingin dan kosong, tetapi justru memperluas lingkupan metta.
Hasilnya adalah manusia yang bukan hanya sayang kepada orang tua/anaknya, tetapi manusia yang mencintai semua makhluk, yang memperlakukan semua orang dan semua makhluk dengan ramah, hangat dan penuh kasih. Dan sayang kepada keluarganya pun bukanlah sayang yang didasari kemelekatan.
Tiap kali sang ayah pergi keluar rumah, ia menitipkan putranya itu kepada sang ibu sambil berkata, “Tolong jaga putra kita baik-baik”. Dan tiap kali sang ibu pergi keluar rumah, ia juga menitipkan putranya itu kepada sang ayah.
Suatu hari, setelah sang ayah pergi, sang ibu berkata kepada dirinya sendiri, “Aku akan menjaga putraku baik-baik.”. Kemudian ia duduk di lantai di tengah-tengah pintu dengan kedua kaki menjulur ke kiri dan kanan menutupi sisinya, dan mulai memintal benang. Pemuda tersebut berpikir, “Aku akan mengakalinya dan melarikan diri”. Lalu ia berkata kepada ibunya, “Ibu sayang, coba geser kakimu sedikit, aku mau ke belakang buang air.” Ibunya menarik kakinya, dan pergilah si pemuda itu keluar. Ia pergi ke vihara secepat mungkin dan kemudian meminta para bhikkhu untuk menerimanya dalam pasamuan bhikkhu. Para bhikkhu menyetujui permintaannya dan menerimanya ke dalam Sangha.
Ketika sang ayah pulang ke rumah, ia bertanya kepada sang ibu, “Dimanakah putraku?”. “Suamiku, tadi dia ada disini.” “Dimanakah kemungkinannya putraku berada?”, pikir sang ayah sambil mencari-cari. Tidak menemukannya, ia berkesimpulan, “Ia pasti telah pergi ke vihara.” Maka sang ayah pergi ke vihara dan ketika melihat putranya telah mengenakan jubah bhikkhu, ia menangis dan meratap sambil berkata, “Oh anakku, mengapa kau hancurkan diriku?” Tetapi sejenak kemudian, ia berpikir, “Sekarang putraku telah menjadi bhikkhu, untuk apa aku hidup berumah tangga lagi?” Maka iapun meminta kepada para bhikkhu untuk menerimanya ke dalam Sangha, dan saat itu pula ia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi bhikkhu.
Sang ibu yang menunggu di rumah berpikir, “Mengapa putra dan suamiku lama sekali?” Tiba-tiba terpikir olehnya, “Pasti mereka telah pergi ke vihara dan menjadi bhikkhu.” Maka ia pun pergi ke vihara, dan melihat putra dan suaminya telah memakai jubah bhikkhu, ia berpikir, “Putra dan suamiku keduanya telah menjadi bhikkhu, lalu apa gunanya aku tetap tinggal di rumah?” Dan dengan keinginan sendiri, ia pun memasuki Sangha Bhikkhuni dan meninggalkan keduniawian.
Tetapi walaupun ibu, ayah dan anak tadi telah meninggalkan keduniawian, mereka tidak bisa berpisah satu sama lain; baik dalam lingkup vihara, ataupun dalam lingkungan bhikkhuni, mereka selalu duduk bersama dan menghabiskan waktu dengan mengobrol diantara mereka.
Para bhikkhu melaporkan hal tsb kepada Sang Buddha. Sang Buddha memanggil mereka dan bertanya, “Apakah benar, kalian melakukan ini dan itu?”. Mereka mengiyakan.
Sang Buddha kemudian berkata, “Mengapa kalian melakukannya? Itu bukanlah hal yang pantas dilakukan bagi bhikkhu dan bhikkhuni.”
“Tetapi sangat tidak mungkin bagi kami untuk hidup berpisah”, jawab mereka.
“Sejak meninggalkan kehidupan duniawi, berlaku demikian sungguh tidak pantas; memang sangat menyakitkan untuk tidak melihat orang yang kita sayangi, dan juga menyakitkan jika kita terpaksa harus melihat orang yang tidak kita sayangi; karenanya, baik terhadap orang maupun benda-benda, seseorang seharusnya tidak membeda-bedakan mana yang disayang ataupun tidak disayang.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"ayoge yuñjaṃ attānaṃ yogasmiñ ca ayojayaṃ
atthaṃ hitvā piyaggāhī pihet’ attānuyoginaṃ
mā piyehi samāgañchi appiyehi kudācanaṃ
piyānaṃ adassanaṃ dukkhaṃ appiyānañ ca dassanaṃ.
tasmā piyaṃ na kayirātha piyāpāyo hi pāpako
ganthā tesaṃ na vijjanti yesaṃ n’atthi piyāppiyam."
Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari,
dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan (sila, samadhi, dan panna)
serta melekat pada kesenangan duniawi
akan merasa iri terhadap hasil yang diperoleh orang yang tekun dalam latihan.
Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai,
keduanya merupakan penderitaan.
Oleh karena itu, seseorang hendaknya tidak menyenangi apapun;
berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan
tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas
dari mencintai dan tidak mencintai.
-----------------------------------
Notes :
Syair diatas bukanlah berarti kita menjadi orang yang dingin dan kejam tanpa cinta kasih.
Tetapi yang harus dilepas adalah cinta/sayang yang didasari oleh kemelekatan. Kita mencintai orangtua/anak kita karena kita berpikir, ini orangtuaKU, ini anakKU, ini darah dagingKU.
Perhatikan syair diatas banyak sekali kata ‘piya’, dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai affection, dear one, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai cinta/sayang/suka.
Tetapi dalam hal ini, cinta/sayang/suka hanya tertuju kepada hal-hal/benda-benda/orang-orang tertentu.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan Metta dan Karuna. Dalam bahasa Inggris, metta diterjemahkan menjadi loving-kindness, Karuna = compassion. Dalam bahasa Indonesia, metta diterjemahkan menjadi cinta-kasih dan karuna = belas kasih / welas asih.
Dua kata yang berbeda, piya dan metta, tetapi sayangnya dalam bahasa Indonesia, sama-sama diterjemahkan menjadi cinta karena kosakatanya kurang banyak. Akibatnya orang suka bingung dan mengira, kalau menjadi buddhist, kita harus cuek, menjadi dingin dan tidak perduli, nggak cinta :) .
Padahal, sebenarnya yang harus kita lepas adalah piya, dan yang harus kita kembangkan adalah metta. Metta adalah rasa cinta kasih kepada semua makhluk dan ingin membuat semua berbahagia.
Melepaskan ‘piya’ bukan berarti kita menjadi dingin dan kosong, tetapi justru memperluas lingkupan metta.
Hasilnya adalah manusia yang bukan hanya sayang kepada orang tua/anaknya, tetapi manusia yang mencintai semua makhluk, yang memperlakukan semua orang dan semua makhluk dengan ramah, hangat dan penuh kasih. Dan sayang kepada keluarganya pun bukanlah sayang yang didasari kemelekatan.
Rabu, 16 Juni 2010
Kisah Seorang Murid Awam
Suatu hari Sang Buddha mengetahui dari penglihatan-Nya bahwa terdapat seorang laki-laki miskin yang akan mampu mencapai tingkat kesucian sotapatti di desa Alavi. Maka sang Buddha pergi ke desa tersebut yang berjarak 30 yojana (+/- berkisar 180km – 450km) dari Savatthi.
Pada dini hari laki-laki tersebut kehilangan kerbau, maka dia pergi mencari kerbaunya. Sementara itu, dana makanan sedang diberikan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu di sebuah rumah di desa Alavi. Setelah bersantap, orang-orang bersiap untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha; tetapi Sang Buddha menunggu laki-laki itu.
Setelah menemukan kerbaunya, laki-laki itu datang dengan berlari-lari ke rumah tempat Sang Buddha berada. Laki-laki tersebut letih dan lapar, maka Sang Buddha meminta pada pendana yang berada di situ untuk memberi makan kepada laki-laki tersebut. Setelah laki-laki tersebut selesai makan, Sang Buddha memberikan khotbah, menjelaskan Dhamma tahap demi tahap, dan akhirnya sampai pada penjelasan tentang `Empat Kebenaran Mulia`. Murid awam tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat khotbah berakhir.
Setelah itu Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Dalam perjalanan pulang, para bhikkhu berkata, sangat mengejutkan Sang Buddha meminta makanan pada pendana makanan untuk memberikan makanan kepada laki-laki muda sebelum Beliau mulai khotbah.
Mendengar perkataan tersebut, Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, apa yang kamu katakan adalah benar, tetapi kamu tidak mengerti mengapa Saya datang ke tempat itu, yang berjarak 30 yojana; karena Saya mengetahui bahwa ia dalam kondisi siap menerima Dhamma. Jika ia merasa sangat lapar, rasa sakit kelaparan itu akan menghalangi ia menerima Dhamma secara utuh. Laki-laki itu telah bepergian mencari kerbaunya sepanjang pagi, oleh karena itu ia sangat letih dan juga sangat lapar. Para bhikkhu, dari semuanya, tidak ada penderitaan yang sangat sulit ditanggung seperti kelaparan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Jighacchāparamā rogā
saṃkhārā paramā dukhā
etaṃ ñatvā yathābhūtam
nibbānaṃ paramaṃ sukhaṃ."
Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat.
Segala sesuatu yang berkondisi merupakan penderitaan yang paling besar.
Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya,
orang bijaksana memahami bahwa nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi.
Pada dini hari laki-laki tersebut kehilangan kerbau, maka dia pergi mencari kerbaunya. Sementara itu, dana makanan sedang diberikan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu di sebuah rumah di desa Alavi. Setelah bersantap, orang-orang bersiap untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha; tetapi Sang Buddha menunggu laki-laki itu.
Setelah menemukan kerbaunya, laki-laki itu datang dengan berlari-lari ke rumah tempat Sang Buddha berada. Laki-laki tersebut letih dan lapar, maka Sang Buddha meminta pada pendana yang berada di situ untuk memberi makan kepada laki-laki tersebut. Setelah laki-laki tersebut selesai makan, Sang Buddha memberikan khotbah, menjelaskan Dhamma tahap demi tahap, dan akhirnya sampai pada penjelasan tentang `Empat Kebenaran Mulia`. Murid awam tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat khotbah berakhir.
Setelah itu Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Dalam perjalanan pulang, para bhikkhu berkata, sangat mengejutkan Sang Buddha meminta makanan pada pendana makanan untuk memberikan makanan kepada laki-laki muda sebelum Beliau mulai khotbah.
Mendengar perkataan tersebut, Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, apa yang kamu katakan adalah benar, tetapi kamu tidak mengerti mengapa Saya datang ke tempat itu, yang berjarak 30 yojana; karena Saya mengetahui bahwa ia dalam kondisi siap menerima Dhamma. Jika ia merasa sangat lapar, rasa sakit kelaparan itu akan menghalangi ia menerima Dhamma secara utuh. Laki-laki itu telah bepergian mencari kerbaunya sepanjang pagi, oleh karena itu ia sangat letih dan juga sangat lapar. Para bhikkhu, dari semuanya, tidak ada penderitaan yang sangat sulit ditanggung seperti kelaparan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Jighacchāparamā rogā
saṃkhārā paramā dukhā
etaṃ ñatvā yathābhūtam
nibbānaṃ paramaṃ sukhaṃ."
Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat.
Segala sesuatu yang berkondisi merupakan penderitaan yang paling besar.
Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya,
orang bijaksana memahami bahwa nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi.
Kamis, 10 Juni 2010
Kisah Mara
Pada suatu kesempatan, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, melihat lima ratus gadis dari desa Pancasala yang akan mencapai tingkat kesucian sotapatti. Oleh karena itu, Sang Buddha pergi dan tinggal di dekat desa tersebut. Kelima ratus gadis pergi mandi ke sungai; setelah selesai mandi mereka pergi ke desa dengan berpakaian lengkap, karena hari itu adalah hari festival.
Pada waktu bersamaan, Sang Buddha memasuki desa Pancasala untuk berpindapatta, tetapi tidak seorangpun penduduk desa memberi dana kepada Sang Buddha karena mereka telah dipengaruhi oleh Mara.
Pada saat perjalanan pulang Sang Buddha bertemu dengan Mara, yang dengan cepat bertanya pada Sang Buddha apakah Sang Buddha sudah menerima dana makanan cukup.
Sang Buddha melihat kedatangan Mara bersamaan dengan kegagalan Beliau untuk mendapatkan dana makanan pada hari itu dan berkata, "Kamu Mara jahat, adalah kamu yang menyuruh penduduk desa untuk menolak saya. Karena kau telah mempengaruhi mereka untuk tidak memberi dana makanan pada saya. Betul tidak ?"
Mara tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dia berpikir akan memperolok Sang Buddha dengan membujuknya kembali ke desa, sehingga penduduk desa akan menghina Sang Buddha dengan memperolok-olokNya. Maka Mara menyarankan, "O Buddha, mengapa Engkau tidak kembali ke desa lagi? Kali ini Engkau pasti akan mendapatkan makanan."
Sejenak kemudian, kelima ratus gadis desa tiba di tempat itu dan menghormat Sang Buddha. Di tengah kehadiran mereka, Mara mengejek Sang Buddha, "O Buddha, Engkau tidak menerima dana makanan pagi ini, Engkau pasti merasa sakit karena kelaparan!"
Kepada Mara, Sang Buddha menjawab, "O Mara jahat, meskipun kami tidak mendapatkan makanan, seperti Brahma Abhassara yang hidup dengan kepuasan yang sangat menyenangkan (piti) dan kebahagiaan (sukha) pemusatan pikiran (jhana), kami hidup dengan kepuasan yang menyenangkan dan kabahagiaan Dhamma."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Susukhaṃ vata jīvāma
yesan no n’atthi kiñcanaṃ
pītibhakkhā bhavissāma
devā ābhassarā yathā."
Sungguh bahagia hidup kita ini
tanpa memiliki suatu apapun
seperti dewa-dewa di alam abhassara
yang hidup dari kegembiraan (piti) sebagai makanan
Lima ratus gadis mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Pada waktu bersamaan, Sang Buddha memasuki desa Pancasala untuk berpindapatta, tetapi tidak seorangpun penduduk desa memberi dana kepada Sang Buddha karena mereka telah dipengaruhi oleh Mara.
Pada saat perjalanan pulang Sang Buddha bertemu dengan Mara, yang dengan cepat bertanya pada Sang Buddha apakah Sang Buddha sudah menerima dana makanan cukup.
Sang Buddha melihat kedatangan Mara bersamaan dengan kegagalan Beliau untuk mendapatkan dana makanan pada hari itu dan berkata, "Kamu Mara jahat, adalah kamu yang menyuruh penduduk desa untuk menolak saya. Karena kau telah mempengaruhi mereka untuk tidak memberi dana makanan pada saya. Betul tidak ?"
Mara tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dia berpikir akan memperolok Sang Buddha dengan membujuknya kembali ke desa, sehingga penduduk desa akan menghina Sang Buddha dengan memperolok-olokNya. Maka Mara menyarankan, "O Buddha, mengapa Engkau tidak kembali ke desa lagi? Kali ini Engkau pasti akan mendapatkan makanan."
Sejenak kemudian, kelima ratus gadis desa tiba di tempat itu dan menghormat Sang Buddha. Di tengah kehadiran mereka, Mara mengejek Sang Buddha, "O Buddha, Engkau tidak menerima dana makanan pagi ini, Engkau pasti merasa sakit karena kelaparan!"
Kepada Mara, Sang Buddha menjawab, "O Mara jahat, meskipun kami tidak mendapatkan makanan, seperti Brahma Abhassara yang hidup dengan kepuasan yang sangat menyenangkan (piti) dan kebahagiaan (sukha) pemusatan pikiran (jhana), kami hidup dengan kepuasan yang menyenangkan dan kabahagiaan Dhamma."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Susukhaṃ vata jīvāma
yesan no n’atthi kiñcanaṃ
pītibhakkhā bhavissāma
devā ābhassarā yathā."
Sungguh bahagia hidup kita ini
tanpa memiliki suatu apapun
seperti dewa-dewa di alam abhassara
yang hidup dari kegembiraan (piti) sebagai makanan
Lima ratus gadis mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Rabu, 02 Juni 2010
Kisah Raja Naga Erakapatta
Ada seekor raja naga yang bernama Erakapatta. Dalam salah satu kehidupannya yang lampau sewaktu masa Buddha Kassapa ia telah menjadi seorang bhikkhu untuk waktu yang lama. Karena kegelisahan (kukkucca) terhadap pelanggaran kecil* yang telah diperbuatnya, ia terlahir sebagai seekor naga. Sebagai seekor naga, ia menunggu munculnya seorang Buddha baru. Erakapatta memiliki seorang putri yang cantik, dan melalui putrinya itu ia bertujuan menemukan Sang Buddha. Ia mengumumkan bahwa siapapun yang dapat menjawab pertanyaan sang putri berhak memperistrinya. Dua kali dalam sebulan, Ekarapatta menyuruh putrinya menari di tempat terbuka dan menyanyikan pertanyaan-pertanyaannya. Banyak pelamar yang datang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan berharap memilikinya, tetapi tak seorangpun dapat memberikan jawaban yang benar.
Suatu hari, melalui kekuatan mata-batinNya, Sang Buddha nampak seorang pemuda yang bernama Uttara. Beliau juga mengetahui bahwa si pemuda akan mencapai tingkat kesucian sotapatti, sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh putri Ekarapatta, sang naga. Waktu itu si pemuda telah berangkat dalam perjalanannya untuk bertemu dengan putri Ekarapatta. Sang Buddha menghentikannya dan mengajarinya bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, Uttara mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sekarang di saat ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri Erakapatta. Bagaimanapun Uttara tetap pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk kebaikan pagi para makhluk.
Keempat pertanyaan pertama adalah sebagai berikut :
1. Siapakah penguasa ?
2. Apakah seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran batin dapat disebut sebagai seorang penguasa?
3. Penguasa apakah yang bebas dari kekotoran batin?
4. Orang yang seperti apakah yang disebut bodoh?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Ia yang mengontrol keenam indra adalah seorang penguasa.
2. Seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran batin tidak dapat disebut seorang penguasa; ia yang bebas dari kemelekatan disebut seorang penguasa.
3. Penguasa yang bebas dari kemelekatan adalah yang bebas dari kekotoran moral.
4. Seseorang yang menginginkan kesenangan-kesenangan hawa nafsu adalah yang disebut bodoh.
Mendapat jawaban yang benar seperti di atas, putri naga kemudian menyanyikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan arus hawa nafsu, kehidupan berulang-ulang, pandangan-pandangan salah, dan ketidaktahuan, dan bagaimana dapat menanggulanginya. Uttara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini seperti yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.
Ketika Erapatta mendengar jawaban-jawaban ini, ia tahu bahwa seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Sehingga ia meminta kepada Uttara untuk mengantarkannya menghadap Sang Buddha. Saat melihat Sang Buddha, Erakapatta menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah menjadi seorang bhikkhu selama masa Buddha Kassapa, bagaimana ia tidak sengaja menyebabkan sebilah pisau rumput patah ketika ia sedang melakukan perjalanan di atas perahu, dan bagaimana ia sangat khawatir karena ia tidak melakukan pengakuan atas kesalahan kecil tersebut sebagaimana mestinya, dan akhirnya bagaimana ia terlahir sebagai seekor naga.
Setelah mendengarnya, Sang Buddha mengatakan kepada sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan untuk dilahirkan pada saat munculnya para Buddha atau selama para Buddha mengajar.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Kiccho manussapaṭilābho
kicchaṃ maccāna jīvitaṃ
kicchaṃ saddhammassavanaṃ
kiccho buddhānam uppādo."
Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia,
sungguh sulit kehidupan manusia,
sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar,
begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
Khotbah di atas bermanfaat bagi banyak makhluk. Erakapatta sebagai seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti.
-------------------------------
Notes :
* Mungkin kalian jadi bingung, kok cuma gara-gara matahin daun rumput aja bisa jadi naga sih?
Ceritanya, Erakapatta sewaktu menjadi bhikkhu di kehidupan lalunya, sedang naik perahu di sungai Gangga, lalu memegang daun/tumbuhan yang tumbuh di tepi sungai, tetapi ia tidak segera melepasnya sehingga bersamaan dengan melajunya perahu, daun/rumput/tanaman itu menjadi robek/rusak. Hal ini termasuk pelanggaran kecil vinaya kebhikkhuan.
Sayangnya sumber bahasa Inggrisnya tidak mengutip istilah bahasa Palinya sehingga saya sulit mencari rujukan balik ke aslinya.
Inilah pentingnya untuk menjaga/mengutip istilah Palinya, agar suatu hari nanti orang bisa menelusuri kembali ke istilah aslinya agar terjemahannya tidak semakin jauh melenceng. (ngedumel.com :)
Anyway, berdasarkan ingatan kasar di otak saya, kemungkinan ini adalah pelanggaran karena merusak tanaman. Karena repot banget nyarinya rujukannya dan penalti apa yang harus dilakukan jika melakukan pelanggaran tsb? Jadi aku ceritakan garis besar kira-kiranya saja yah? Biasanya pelanggaran2 kecil ini harus diakui di hadapan Sangha, dan lalu si pelanggar ‘didisiplinkan’, baru kemudian ia boleh kembali seperti biasa.
Nah, rupanya bhikkhu Erakapatta ini tidak melakukan pengakuan dan karenanya tidak didisiplinkan sebagaimana mestinya, dan ketika ia menjelang ajalnya, timbullah dalam dirinya rasa kegelisahan yang teramat besar karena dia tidak mengakui pelanggaran tsb. Akibat pikiran yang kacau ini pada saat menjelang ajal, maka ia terlahir kembali menjadi naga.
Pada saat meninggal, keadaan pikiran kita sangat penting dalam menentukan kelahiran berikutnya. Jika pikiran gelisah, tidak tenang, ataupun melekat terhadap benda/situasi/keluarga dll, otomatis kelahiran berikutnya akan terpengaruh.
Karenanya, adalah sangat penting menjaga ketenangan batin dan pikiran orang yang meninggal, jika kita sungguh-sungguh mencintai orang yang meninggal tersebut, seyogyanya kita tidak memperkeruh suasana atau menyebabkan timbulnya perasaan-perasaan negatif dalam orang yang meninggal tersebut. Sebaliknya, timbulkanlah perasaan-perasaan positif.
Adalah sangat baik jika kita membacakan paritta, sutta, ataupun mantra dll, lebih bagus lagi jika paritta/sutta/mantra tersebut adalah yang berhubungan dengan pelepasan, penguatan keyakinan kepada Sang Tiratana (Buddha, Dhamma, Sangha), dll. Untuk umat awam yang berbakti dan menjaga sila dengan baik, dapat dibacakan Sotapattisamyutta.
Untuk yang Mahayana; Sutra tentang Amitabha (AhMiTuo Cing), Wang Sen Cou, adalah baik untuk menunjang kelahiran di Sukhavati. Untuk para praktisi tantra bisa juga dibacakan instruksi mengenai Bardo untuk mengingatkannya langkah-langkah apa yang harus diambil dalam proses kematian/kelahiran kembali itu.
Sebagian orang yang beragama lain berpikir saat orang tuanya menjelang ajal, ini adalah kesempatan baik untuk membaptis orangtuanya, mereka berpikir ini adalah hal yang baik supaya orang tuanya dapat diterima di surga (menurut kepercayaan mereka), karena selama masa hidupnya ortu tidak mau pindah agama. Nah sekarang menjelang ajal, sudah tak bisa protes lagi, mari dibaptis supaya masuk surga. Tetapi, walaupun tidak bisa protes secara ucapan, jika batinnya tidak setuju, ragu-ragu, dan bahkan marah atau kesal, justru ini malah membawa kelahiran yang tidak baik bagi orang tuanya tersebut. So, saya sungguh merasa kasihan kepada orang-orang tua yang anak-anaknya telah berpindah agama, lalu pada waktu ajalnya dibaptis pindah ke agama lain. Maksudnya sih baik, tapi akibatnya bisa fatal.
Oya, naga bisa bersalin rupa mengambil wujud sebagai manusia, kalau nggak gitu, tentu tak ada yang mau menikahi si putri naga ..hehehe…
Naga-naga ini berada di bawah komando Virupakkha, salah satu dari Empat Raja Dewa di Catummaharajika.
Suatu hari, melalui kekuatan mata-batinNya, Sang Buddha nampak seorang pemuda yang bernama Uttara. Beliau juga mengetahui bahwa si pemuda akan mencapai tingkat kesucian sotapatti, sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh putri Ekarapatta, sang naga. Waktu itu si pemuda telah berangkat dalam perjalanannya untuk bertemu dengan putri Ekarapatta. Sang Buddha menghentikannya dan mengajarinya bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, Uttara mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sekarang di saat ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri Erakapatta. Bagaimanapun Uttara tetap pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk kebaikan pagi para makhluk.
Keempat pertanyaan pertama adalah sebagai berikut :
1. Siapakah penguasa ?
2. Apakah seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran batin dapat disebut sebagai seorang penguasa?
3. Penguasa apakah yang bebas dari kekotoran batin?
4. Orang yang seperti apakah yang disebut bodoh?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Ia yang mengontrol keenam indra adalah seorang penguasa.
2. Seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran batin tidak dapat disebut seorang penguasa; ia yang bebas dari kemelekatan disebut seorang penguasa.
3. Penguasa yang bebas dari kemelekatan adalah yang bebas dari kekotoran moral.
4. Seseorang yang menginginkan kesenangan-kesenangan hawa nafsu adalah yang disebut bodoh.
Mendapat jawaban yang benar seperti di atas, putri naga kemudian menyanyikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan arus hawa nafsu, kehidupan berulang-ulang, pandangan-pandangan salah, dan ketidaktahuan, dan bagaimana dapat menanggulanginya. Uttara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini seperti yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.
Ketika Erapatta mendengar jawaban-jawaban ini, ia tahu bahwa seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Sehingga ia meminta kepada Uttara untuk mengantarkannya menghadap Sang Buddha. Saat melihat Sang Buddha, Erakapatta menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah menjadi seorang bhikkhu selama masa Buddha Kassapa, bagaimana ia tidak sengaja menyebabkan sebilah pisau rumput patah ketika ia sedang melakukan perjalanan di atas perahu, dan bagaimana ia sangat khawatir karena ia tidak melakukan pengakuan atas kesalahan kecil tersebut sebagaimana mestinya, dan akhirnya bagaimana ia terlahir sebagai seekor naga.
Setelah mendengarnya, Sang Buddha mengatakan kepada sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan untuk dilahirkan pada saat munculnya para Buddha atau selama para Buddha mengajar.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Kiccho manussapaṭilābho
kicchaṃ maccāna jīvitaṃ
kicchaṃ saddhammassavanaṃ
kiccho buddhānam uppādo."
Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia,
sungguh sulit kehidupan manusia,
sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar,
begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
Khotbah di atas bermanfaat bagi banyak makhluk. Erakapatta sebagai seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti.
-------------------------------
Notes :
* Mungkin kalian jadi bingung, kok cuma gara-gara matahin daun rumput aja bisa jadi naga sih?
Ceritanya, Erakapatta sewaktu menjadi bhikkhu di kehidupan lalunya, sedang naik perahu di sungai Gangga, lalu memegang daun/tumbuhan yang tumbuh di tepi sungai, tetapi ia tidak segera melepasnya sehingga bersamaan dengan melajunya perahu, daun/rumput/tanaman itu menjadi robek/rusak. Hal ini termasuk pelanggaran kecil vinaya kebhikkhuan.
Sayangnya sumber bahasa Inggrisnya tidak mengutip istilah bahasa Palinya sehingga saya sulit mencari rujukan balik ke aslinya.
Inilah pentingnya untuk menjaga/mengutip istilah Palinya, agar suatu hari nanti orang bisa menelusuri kembali ke istilah aslinya agar terjemahannya tidak semakin jauh melenceng. (ngedumel.com :)
Anyway, berdasarkan ingatan kasar di otak saya, kemungkinan ini adalah pelanggaran karena merusak tanaman. Karena repot banget nyarinya rujukannya dan penalti apa yang harus dilakukan jika melakukan pelanggaran tsb? Jadi aku ceritakan garis besar kira-kiranya saja yah? Biasanya pelanggaran2 kecil ini harus diakui di hadapan Sangha, dan lalu si pelanggar ‘didisiplinkan’, baru kemudian ia boleh kembali seperti biasa.
Nah, rupanya bhikkhu Erakapatta ini tidak melakukan pengakuan dan karenanya tidak didisiplinkan sebagaimana mestinya, dan ketika ia menjelang ajalnya, timbullah dalam dirinya rasa kegelisahan yang teramat besar karena dia tidak mengakui pelanggaran tsb. Akibat pikiran yang kacau ini pada saat menjelang ajal, maka ia terlahir kembali menjadi naga.
Pada saat meninggal, keadaan pikiran kita sangat penting dalam menentukan kelahiran berikutnya. Jika pikiran gelisah, tidak tenang, ataupun melekat terhadap benda/situasi/keluarga dll, otomatis kelahiran berikutnya akan terpengaruh.
Karenanya, adalah sangat penting menjaga ketenangan batin dan pikiran orang yang meninggal, jika kita sungguh-sungguh mencintai orang yang meninggal tersebut, seyogyanya kita tidak memperkeruh suasana atau menyebabkan timbulnya perasaan-perasaan negatif dalam orang yang meninggal tersebut. Sebaliknya, timbulkanlah perasaan-perasaan positif.
Adalah sangat baik jika kita membacakan paritta, sutta, ataupun mantra dll, lebih bagus lagi jika paritta/sutta/mantra tersebut adalah yang berhubungan dengan pelepasan, penguatan keyakinan kepada Sang Tiratana (Buddha, Dhamma, Sangha), dll. Untuk umat awam yang berbakti dan menjaga sila dengan baik, dapat dibacakan Sotapattisamyutta.
Untuk yang Mahayana; Sutra tentang Amitabha (AhMiTuo Cing), Wang Sen Cou, adalah baik untuk menunjang kelahiran di Sukhavati. Untuk para praktisi tantra bisa juga dibacakan instruksi mengenai Bardo untuk mengingatkannya langkah-langkah apa yang harus diambil dalam proses kematian/kelahiran kembali itu.
Sebagian orang yang beragama lain berpikir saat orang tuanya menjelang ajal, ini adalah kesempatan baik untuk membaptis orangtuanya, mereka berpikir ini adalah hal yang baik supaya orang tuanya dapat diterima di surga (menurut kepercayaan mereka), karena selama masa hidupnya ortu tidak mau pindah agama. Nah sekarang menjelang ajal, sudah tak bisa protes lagi, mari dibaptis supaya masuk surga. Tetapi, walaupun tidak bisa protes secara ucapan, jika batinnya tidak setuju, ragu-ragu, dan bahkan marah atau kesal, justru ini malah membawa kelahiran yang tidak baik bagi orang tuanya tersebut. So, saya sungguh merasa kasihan kepada orang-orang tua yang anak-anaknya telah berpindah agama, lalu pada waktu ajalnya dibaptis pindah ke agama lain. Maksudnya sih baik, tapi akibatnya bisa fatal.
Oya, naga bisa bersalin rupa mengambil wujud sebagai manusia, kalau nggak gitu, tentu tak ada yang mau menikahi si putri naga ..hehehe…
Naga-naga ini berada di bawah komando Virupakkha, salah satu dari Empat Raja Dewa di Catummaharajika.
Kisah Kala, Putra Anathapindika
Kala, putra Anathapindika, selalu menghindar ketika Sang Buddha dan para bhikkhu rombonganNya datang berkunjung ke rumahnya.
Anathapindika khawatir jika putranya tetap bersikap seperti itu, ia akan terlahir kembali di salah satu alam yang rendah (apaya). Ia membujuk putranya dengan menjanjikan sejumlah uang. Anathapindika berjanji untuk memberikan 100 keping uang jika putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di sana selama sehari pada saat hari uposatha. Putranya pergi ke vihara dan pulang kembali pada esok harinya, tanpa mendengarkan khotbah-khotbah. Ayahnya memberikan nasi kepadanya, tetapi daripada mengambil makanannya, ia terlebih dahulu menuntut untuk diberi uang.
Pada hari berikutnya, sang ayah berkata pada putranya, "Putraku, jika kamu mempelajari sebait syair dari Sang Buddha, saya akan memberimu 1000 keping pada saat kau kembali." Kemudian Kala pergi ke vihara, dan mengatakan kepada Sang Buddha bahwa ia ingin mempelajari sesuatu. Sang Buddha memberikannya sebuah syair pendek untuk dihapal luar kepala; sekaligus membuat si pemuda tidak bisa menghapalnya. Jadi, si pemuda harus mengulangi satu syair berulang ulang kali. Karena ia harus mengulanginya berulang kali, pada akhirnya ia mengerti penuh tentang Dhamma dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Pagi-pagi sekali pada hari berikutnya, ia mengikuti Sang Buddha dan para bhikkhu menuju ke rumah orang tuanya. Tetapi pada hari itu, ia dengan diam-diam berharap, "Saya berharap ayahku tidak memberikan 1000 keping itu di depan Sang Buddha nanti. Saya tidak berharap Sang Buddha mengetahui bahwa saya berdiam di vihara hanya demi uang."
Ayahnya memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, dan juga kepadanya. Kemudian, ayahnya membawa 1000 keping uang, dan menyuruh Kala untuk mengambil uang tersebut tetapi diluar dugaannya, Kala menolak. Ayahnya memaksa Kala untuk menerima uang itu, tetapi Kala tetap menolak. Kemudian, Anathapindika berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, putra saya benar-benar berubah; sekarang ia berkelakuan sangat menyenangkan." Kemudian ia menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia membujuk putranya dengan uang agar putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di sana pada saat hari uposatha, serta untuk mepelajari beberapa syair Dhamma.
Sang Buddha menjawab, "Anathapindika! Hari ini, putramu telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, yang lebih baik daripada kekayaan kerajaan duniawi atau alam para dewa maupun alam para brahma."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Pathavyā ekarajjena
saggassa gamanena vā
sabbalokādhipāccena
sotāpattiphalaṃ varaṃ."
Ada yang lebih baik
daripada kekuasaan mutlak atas bumi,
daripada pergi ke surga,
atau daripada memerintah seluruh dunia,
yakni hasil kemuliaan dari seorang suci
yang telah memenangkan arus (sotapatti-phala).
Anathapindika khawatir jika putranya tetap bersikap seperti itu, ia akan terlahir kembali di salah satu alam yang rendah (apaya). Ia membujuk putranya dengan menjanjikan sejumlah uang. Anathapindika berjanji untuk memberikan 100 keping uang jika putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di sana selama sehari pada saat hari uposatha. Putranya pergi ke vihara dan pulang kembali pada esok harinya, tanpa mendengarkan khotbah-khotbah. Ayahnya memberikan nasi kepadanya, tetapi daripada mengambil makanannya, ia terlebih dahulu menuntut untuk diberi uang.
Pada hari berikutnya, sang ayah berkata pada putranya, "Putraku, jika kamu mempelajari sebait syair dari Sang Buddha, saya akan memberimu 1000 keping pada saat kau kembali." Kemudian Kala pergi ke vihara, dan mengatakan kepada Sang Buddha bahwa ia ingin mempelajari sesuatu. Sang Buddha memberikannya sebuah syair pendek untuk dihapal luar kepala; sekaligus membuat si pemuda tidak bisa menghapalnya. Jadi, si pemuda harus mengulangi satu syair berulang ulang kali. Karena ia harus mengulanginya berulang kali, pada akhirnya ia mengerti penuh tentang Dhamma dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Pagi-pagi sekali pada hari berikutnya, ia mengikuti Sang Buddha dan para bhikkhu menuju ke rumah orang tuanya. Tetapi pada hari itu, ia dengan diam-diam berharap, "Saya berharap ayahku tidak memberikan 1000 keping itu di depan Sang Buddha nanti. Saya tidak berharap Sang Buddha mengetahui bahwa saya berdiam di vihara hanya demi uang."
Ayahnya memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, dan juga kepadanya. Kemudian, ayahnya membawa 1000 keping uang, dan menyuruh Kala untuk mengambil uang tersebut tetapi diluar dugaannya, Kala menolak. Ayahnya memaksa Kala untuk menerima uang itu, tetapi Kala tetap menolak. Kemudian, Anathapindika berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, putra saya benar-benar berubah; sekarang ia berkelakuan sangat menyenangkan." Kemudian ia menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia membujuk putranya dengan uang agar putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di sana pada saat hari uposatha, serta untuk mepelajari beberapa syair Dhamma.
Sang Buddha menjawab, "Anathapindika! Hari ini, putramu telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, yang lebih baik daripada kekayaan kerajaan duniawi atau alam para dewa maupun alam para brahma."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Pathavyā ekarajjena
saggassa gamanena vā
sabbalokādhipāccena
sotāpattiphalaṃ varaṃ."
Ada yang lebih baik
daripada kekuasaan mutlak atas bumi,
daripada pergi ke surga,
atau daripada memerintah seluruh dunia,
yakni hasil kemuliaan dari seorang suci
yang telah memenangkan arus (sotapatti-phala).
Langganan:
Postingan (Atom)