Mahakala bersungguh-sungguh dalam latihan pertapaannya di kuburan (Sosanika Dhutanga),
dan tekun bermeditasi dengan obyek kelapukan dan ketidak-kekalan.
Akhirnya ia memperoleh “Pandangan Terang” dan mencapai tingkat kesucian
arahat.
Di dalam perjalanan-Nya, Sang Buddha
bersama murid-murid-Nya, termasuk Mahakala dan Culakala, singgah di
hutan Simsapa, dekat Setabya. Ketika berdiam di sana, bekas istri-istri
Culakala mengundang Sang Buddha beserta murid-murid Beliau ke rumah
mereka untuk menerima dana makanan. Culakala sendiri terlebih dulu
pulang untuk mempersiapkan tempat duduk bagi Sang Buddha dan
murid-murid-Nya.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh bekas istri-istri Culakala untuk merayunya, agar ia mau kembali kepada mereka.
“Kakanda, alangkah kurusnya engkau
sekarang. Tentu selama ini kakanda sangat menderita. Mari, adinda
bersedia memijit kakanda untuk menghilangkan lelah, seperti dahulu kala.
O, kakanda, marilah kita bergembira seperti dahulu lagi”.
Pada dasarnya Culakala memang tidak tekun
dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kewajibannya sebagai bhikkhu.
Mendengar berbagai rayuan dan rangsangan, batinnya tidak kuat. Nafsunya
tergugah, tanpa pikir panjang lagi dilemparkannya jubahnya dan
kembalilah ia kepada kehidupan duniawi, sebagai perumah tangga.
Melihat para istri Culakala berhasil
mendapatkan suaminya kembali, para istri Mahakala pun tidak mau kalah.
Pada hari berikutnya, bekas istri-istri Mahakala mengundang Sang Buddha
bersama murid-murid-Nya ke rumah mereka, dengan harapan mereka dapat
melakukan hal yang sama terhadap Mahakala.
Setelah berdana makanan, mereka meminta
kepada Sang Buddha untuk membiarkan Mahakala tinggal sendirian untuk
melakukan pelimpahan jasa (anumodana). Sang Buddha mengabulkan. Bersama murid-murid lain Beliau meninggalkan tempat tersebut.
Sewaktu tiba di pintu gerbang dusun, para
bhikkhu mengungkapkan kekhawatiran dan keprihatinan mereka. Mereka
merasa khawatir karena Mahakala telah diijinkan untuk tinggal sendiri.
Mereka merasa takut kalau terjadi sesuatu, seperti Culakala saudaranya,
sehingga Mahakala juga akan memutuskan untuk meninggalkan pasamuan
bhikkhu, kembali hidup bersama bekas istri-istrinya.
Terhadap hal ini, Sang Buddha menjelaskan
bahwa kedua saudara itu tidak sama. Culakala masih menuruti kesenangan
nafsu keinginan, malas, dan lemah; dia seperti pohon lapuk. Mahakala
sebaliknya. Tekun, mantap, dan kuat dalam keyakinannya terhadap Buddha,
Dhamma dan Sangha; dia seperti gunung karang.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 7 dan 8 berikut ini:
Seseorang yang hidupnya hanya
ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan, yang inderanya tidak
terkendali, yang makannya tidak mengenal batas, malas serta tidak
bersemangat; maka Mara (Penggoda) akan menguasai dirinya, bagaikan angin
menumbangkan pohon yang lapuk.
Seseorang yang hidupnya tidak
ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan, yang inderanya terkendali,
sederhana dalam makanan, penuh keyakinan serta bersemangat, maka Mara
(Penggoda) tidak dapat menguasai dirinya bagaikan angin yang tidak dapat
menumbangkan gunung karang.
Saat itu bekas istri-istri Mahakala
mengelilinginya dan berusaha merayu agar Mahakala melepaskan jubah
kuningnya. Mahakala mengetahui upaya mereka, maka ia tetap berdiam diri
saja. Tetapi, istri-istrinya berusaha lebih keras lagi. Melihat itu,
Mahakala merasa tak ada gunanya lagi berdiam di situ. Ia berdiri, dengan
kemampuan batin luar biasa ia melesat ke angkasa melewati atap rumah.
Ia tiba tepat di bawah kaki Sang Buddha saat Beliau tengah mengakhiri
pembabaran dua syair di atas.