Ada seorang penggosok permata dan istrinya tinggal di Savatthi. Di sana juga berdiam seorang Thera yang telah mencapai tingkat kesucian arahat. Setiap hari pasangan ini memberi dana makanan kepada thera itu.
Suatu hari ketika penggosok permata itu sedang memegang daging, utusan Raja Pasenadi dari Kosala tiba dengan membawa sebutir ruby, yang meminta untuk dipotong, dan diasah sampai mengkilap. Si penggosok permata tersebut mengambil ruby dengan tangannya yang telah terkena darah, dan meletakkannya di atas meja serta pergi ke dalam rumah untuk mencuci tangannya.
Burung peliharaan keluarga ini melihat darah melumuri ruby dan mengira barang itu adalah sepotong daging, lalu mematuk serta menelannya di hadapan sang thera.
Ketika penggosok permata selesai mencuci tangannya, dia menemukan bahwa ruby tersebut telah hilang. Dia bertanya kepada istri dan anaknya, dan mereka menjawab bahwa mereka tidak mengambilnya. Kemudian dia bertanya kepada sang thera dan mendapat jawaban bahwa sang thera tidak mengambilnya, tetapi dia merasa tidak puas. Karena tidak ada orang lain kecuali sang thera di dalam rumah. Penggosok permata berkesimpulan pastilah sang thera yang telah mengambil ruby yang berharga tersebut. Lalu dia memberi tahu istrinya bahwa dia harus menyiksa sang thera agar mengakui sebagai pencurinya.
Tetapi istrinya menjawab: "Thera ini telah menjadi pembimbing dan guru kita selama dua belas tahun, dan kita tidak pernah melihat thera itu melakukan perbuatan jahat apa pun, janganlah menuduh thera itu. Lebih baik kita menerima hukuman raja daripada menuduh orang suci."
Tetapi si suami tidak mendengarkan kata-kata istrinya. Dia mengambil tali dan mengikat thera itu serta memukulnya berkali-kali dengan sebuah tongkat, sehingga sangat banyak darah mengalir dari kepala, telinga, dan hidung. Darah itu berceceran jatuh ke lantai.
Burung penggosok permata melihat darah, lalu berharap untuk mematuknya, burung itu datang mendekat sang thera. Si penggosok permata yang pada saat itu sangat marah, menyepak burung dengan seluruh kekuatannya, sehingga burung itu mati seketika.
Kemudian thera itu berkata, "Lihatlah, apakah burung itu mati atau tidak?"
Penggosok permata menjawab: "Kamu juga seharusnya mati seperti burung itu."
Ketika sang thera yakin bahwa burung itu telah mati, dia menjawab dengan pelan: "Muridku, burung itulah yang menelan ruby tersebut."
Mendengar itu, penggosok permata membelah badan burung tersebut, dan menemukan ruby di dalam perutnya. Kemudian penggosok permata menyadari bahwa dia telah bersalah dan menggigil ketakutan. Dia memohon kepada sang thera untuk mengampuninya dan terus menerima dana makanan di muka pintu rumahnya.
Thera itu menjawab, "Muridku, ini bukanlah kesalahanmu dan juga bukan kesalahanku. Ini terjadi disebabkan oleh apa yang telah kita perbuat dalam kehidupan lampau. Hanyalah hutang kita dalam proses kehidupan (samsara). Saya tidak sakit hati terhadapmu, fakta ini terjadi karena saya memasuki rumah. Mulai hari ini, saya tidak akan memasuki rumah manapun, saya hanya akan berdiri di muka pintu."
Segera setelah mengatakan hal ini, sang thera meninggal dunia akibat luka-lukanya.
Mendengar kejadian itu, bhikkhu-bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha dimana pelaku kisah di atas akan terlahir kembali?
Sang Buddha menjawab, "Burung itu terlahir kembali sebagai putra penggosok permata; penggosok permata terlahir kembali di alam neraka (Niraya); istri penggosok permata terlahir kembali di salah satu alam dewa; dan sang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian arahat pada kehidupannya saat ini, merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Gabbham eke uppajjanti
nirayaṃ pāpakammino
saggaṃ sugatino yanti
parinibbanti anāsavā."
Sebagian orang terlahir melalui kandungan;
pelaku kejahatan terlahir di alam neraka;
orang yang berkelakuan baik pergi ke surga;
dan orang yang bebas dari kekotoran batin mencapai nibbana.
----------
Notes :
Orang yang bebas dari kekotoran batin = Arahat. Arahat tidak dilahirkan kembali di alam manapun juga, baik di alam surga maupun di alam brahma.
Kelahiran di alam surga dan alam brahma, masih berada dalam roda samsara, walaupun kelihatannya enak dan menyenangkan lahir di alam surga dan alam brahma (dibanding alam lain yang lebih rendah), tetapi kelahiran disana tidaklah abadi. Rentang kehidupan di alam surga memang panjang sekali, sehingga orang menjadi salah paham dan mengira surga itu abadi, padahal tidak. Ketika karma baik penyebab kelahiran di sana telah habis, maka yang bersangkutan akan mati dan terlahir lagi di tempat lain sesuai karmanya. Tidak sedikit yang jatuh ke alam rendah seperti alam asura, alam peta dan alam binatang, dimana hari-hari mereka diisi dengan kebencian, keserakahan dan ketakutan yang tiada habisnya.
Karenanya orang yang bijaksana, tidak hanya sampai bertujuan untuk lahir di surga, tetapi untuk membebaskan diri dari lingkaran Samsara / Sangsara (lingkaran tumimbal lahir yang tiada putusnya), dengan merealisasikan Nibbana.
Samsara (Pali), bahasa Sanskritnya adalah Sangsara, yang rupanya dalam bahasa Indonesia diturunkan menjadi sengsara. Sengsara artinya penderitaan. Walaupun sudah bergeser dari arti aslinya, tetapi masih benar juga, karena memang lingkaran tumimbal lahir yang tiada putusnya ini adalah penderitaan, karena kita terjebak didalamnya, terseret arus tanpa daya. Lahir, tua, sakit, mati, lahir tua sakit mati, lahir lagi tua lagi sakit lagi mati lagi. Belum lagi kalau lahirnya di alam yang tidak enak, atau di tempat yang tidak enak; kita tidak punya kontrol kemana karma kita akan membawa kita.
Nibbana / Nirvana adalah suatu keadaan, bukan nama suatu tempat ataupun surga.
Perlu dicamkan, Nibbana tidak dapat dimengerti melalui penjelasan dan kata-kata. Seseorang hanya dapat mengerti Nibbana melalui kesadaran langsung.
Secara harafiah, Nibbana artinya padamnya api, yaitu api lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (ketidaktahuan), juga kebebasan, Sang Buddha menjelaskan bahwa Nibbana adalah berhentinya penderitaan, kelahiran, usia tua dan kematian; ketenangan sempurna, kedamaian, kebahagiaan tertinggi.
Ini adalah suatu hal yang sulit dijelaskan, karena orang yang telah mencapai Nibbana pun tidak bisa menjelaskannya secara tepat dengan kata-kata kepada orang yang belum mencapai Nibbana. Ibarat kita hendak menjelaskan apa rasa cabai kepada orang yang belum pernah makan cabai.
Ketika kita menjelaskan sesuatu keadaan kepada orang lain dengan menggunakan kata-kata, yang terjadi adalah, orang itu akan berusaha mencocokkan kata-kata kita dengan apa yang pernah dialami dan dirasakannya, dengan konsep yang dimilikinya, dan tentu saja hal ini tidak berhasil :)
Sebagian orang salah mengerti dan mengira bahwa Nibbana merupakan annihilation / pemusnahan. Ini terjadi karena salah pengertian, persis seperti yang saya katakan di paragraf di atas.
Satu hal lagi yg bisa kita pertimbangkan, seperti apakah sikap dan tingkah laku Buddha dan para arahat?
Mereka telah merealisasi Nibbana. Bagaimana keadaan mereka?
Bukankah mereka selalu tenang, penuh damai, bahagia, dan begitu agung? Tiada rasa marah, benci, kuatir, takut, serakah, dengki, atau apapun yang negatif.
Rabu, 31 Maret 2010
Kisah Koka Si Pemburu
Suatu pagi, saat Koka pergi berburu dengan anjing-anjing pemburunya, dia melihat seorang bhikkhu memasuki kota untuk berpindapatta. Pemburu menganggap hal itu sebagai pertanda buruk dan menggerutu pada dirinya sendiri: "Gara-gara saya melihat si celaka ini, saya pikir saya tidak akan mendapatkan hasil buruan apapun hari ini", dan dia melanjutkan perjalanannya. Sesuai pikirannya, dia tidak memperoleh apapun.
Pada perjalanan pulang, dia melihat kembali bhikkhu yang sama sedang berjalan pulang ke vihara setelah menerima dana makanan di kota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia melepaskan anjing-anjing pemburunya ke bhikkhu tersebut. Dengan cepat bhikkhu itu memanjat pohon yang tidak dapat dijangkau oleh anjing pemburu. Kemudian si pemburu menuju ke bawah pohon itu dan menusuk tumit kaki bhikkhu tersebut dengan ujung anak panahnya.
Bhikkhu itu sangat kesakitan dan tidak mampu lagi memegang jubahnya. Jubahnya terlepas dan jatuh menutupi si pemburu yang berada di bawah pohon.
Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa bhikkhu tersebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di dalamnya, menggigit dan mencabik-cabik dengan beringas.
Bhikkhu itu, dari persembunyiannya di atas pohon mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhikkhu, dan mereka berlarian ke dalam hutan.
Bhikkhu tersebut turun dari atas pohon, dan menemukan si pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya. Bhikkhu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup oleh jubah kuningnya?
Kemudian bhikkhu itu menghadap Sang Buddha untuk menjernihkan keragu-raguannya. Sang Buddha berkata: "Anak-Ku, yakinlah dan jangan ragu; kamu tidak bertanggung jawab atas kematian pemburu itu. Pelaksanaan moral (sila) kamu juga tidak tercemari oleh kematian itu. Lagipula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang tidak berbuat salah, sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Yo appaduṭṭhassa narassa dussati
suddhassa posassa anaṅgaṇassa
tam eva bālaṃ pacceti pāpaṃ
sukhumo rajo paṭivātaṃ va khitto."
Barangsiapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah,
maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu,
bagaikan debu yang dilempar melawan angin.
Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Pada perjalanan pulang, dia melihat kembali bhikkhu yang sama sedang berjalan pulang ke vihara setelah menerima dana makanan di kota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia melepaskan anjing-anjing pemburunya ke bhikkhu tersebut. Dengan cepat bhikkhu itu memanjat pohon yang tidak dapat dijangkau oleh anjing pemburu. Kemudian si pemburu menuju ke bawah pohon itu dan menusuk tumit kaki bhikkhu tersebut dengan ujung anak panahnya.
Bhikkhu itu sangat kesakitan dan tidak mampu lagi memegang jubahnya. Jubahnya terlepas dan jatuh menutupi si pemburu yang berada di bawah pohon.
Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa bhikkhu tersebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di dalamnya, menggigit dan mencabik-cabik dengan beringas.
Bhikkhu itu, dari persembunyiannya di atas pohon mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhikkhu, dan mereka berlarian ke dalam hutan.
Bhikkhu tersebut turun dari atas pohon, dan menemukan si pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya. Bhikkhu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup oleh jubah kuningnya?
Kemudian bhikkhu itu menghadap Sang Buddha untuk menjernihkan keragu-raguannya. Sang Buddha berkata: "Anak-Ku, yakinlah dan jangan ragu; kamu tidak bertanggung jawab atas kematian pemburu itu. Pelaksanaan moral (sila) kamu juga tidak tercemari oleh kematian itu. Lagipula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang tidak berbuat salah, sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Yo appaduṭṭhassa narassa dussati
suddhassa posassa anaṅgaṇassa
tam eva bālaṃ pacceti pāpaṃ
sukhumo rajo paṭivātaṃ va khitto."
Barangsiapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah,
maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu,
bagaikan debu yang dilempar melawan angin.
Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Kisah Kukkutamitta
Di Rajagaha terdapat seorang putri orang kaya yang telah mencapai tingkat kesucian sotapatti pada usia yang masih muda. Suatu hari, Kukkutamitta, seorang pemburu datang ke kota dengan kereta untuk menjual daging rusa. Melihat Kukkutamitta, si pemburu itu, wanita kaya yang masih muda ini jatuh hati seketika.
Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkawinannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.
Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari perangkap tersebut.
Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan melepaskan binatang tersebut.
Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semak-semak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha.
Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti patung.
Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah mereka. Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.
Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan anak panah mereka membidik Sang Buddha, dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, "Jangan membunuh ayahku."
Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia berpikir "Ini pastilah ayah mertua saya", dan anak-anaknya berpikir "Ini pastilah kakek kami", dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.
Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, "Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan kepada ayah saya."
Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan membiarkan mereka menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka. Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.
Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh menantunya, semua berjumlah lima belas, mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain perihal Kukkutamita dan keluarganya yang telah mencapai tingkat sotapatti pada dini hari.
Para bhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengembalikan barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu?"
Terhadap pertanyaan itu, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya menuruti kemauan suaminya mengambilkan barang-barang untuknya. Seperti halnya tangan yang tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Demikian pula, karena dia tidak mempunyai niat melakukan kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Pāṇimhi ce vaṇo n’āssa
hareyya pāṇinā visaṃ
nābbaṇaṃ visam anveti
n’atthi pāpaṃ akubbato."
Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan,
maka ia dapat menggenggam racun.
Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka.
Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.
------------
Notes:
Seorang sotapanna telah mematahkan 3 belenggu (lihat notes di kisah 122),
Saddha/keyakinannya dalam Buddha Dhamma dan Sangha, sungguh-sungguh kuat, dan silanya juga kukuh, dalam situasi apapun juga ia tidak akan melanggar Pancasila.
Karena ia menjalankan Pancasila, ia tidak berbuat karma buruk baru yang dapat menyeretnya terlahir alam rendah.
Seandainya ada karma buruk yang dapat menyebabkan kelahiran di alam rendah, yang dilakukan sebelum ia menjadi sotapanna, ini akan menjadi ahosi kamma (karma yang tidak berbuah).
Dalam hal ini, karena sang isteri adalah seorang sotapanna, ia sudah tidak memiliki niat untuk membunuh.
Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkawinannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.
Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari perangkap tersebut.
Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan melepaskan binatang tersebut.
Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semak-semak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha.
Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti patung.
Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah mereka. Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.
Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan anak panah mereka membidik Sang Buddha, dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, "Jangan membunuh ayahku."
Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia berpikir "Ini pastilah ayah mertua saya", dan anak-anaknya berpikir "Ini pastilah kakek kami", dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.
Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, "Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan kepada ayah saya."
Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan membiarkan mereka menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka. Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.
Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh menantunya, semua berjumlah lima belas, mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain perihal Kukkutamita dan keluarganya yang telah mencapai tingkat sotapatti pada dini hari.
Para bhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengembalikan barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu?"
Terhadap pertanyaan itu, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya menuruti kemauan suaminya mengambilkan barang-barang untuknya. Seperti halnya tangan yang tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Demikian pula, karena dia tidak mempunyai niat melakukan kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Pāṇimhi ce vaṇo n’āssa
hareyya pāṇinā visaṃ
nābbaṇaṃ visam anveti
n’atthi pāpaṃ akubbato."
Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan,
maka ia dapat menggenggam racun.
Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka.
Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.
------------
Notes:
Seorang sotapanna telah mematahkan 3 belenggu (lihat notes di kisah 122),
Saddha/keyakinannya dalam Buddha Dhamma dan Sangha, sungguh-sungguh kuat, dan silanya juga kukuh, dalam situasi apapun juga ia tidak akan melanggar Pancasila.
Karena ia menjalankan Pancasila, ia tidak berbuat karma buruk baru yang dapat menyeretnya terlahir alam rendah.
Seandainya ada karma buruk yang dapat menyebabkan kelahiran di alam rendah, yang dilakukan sebelum ia menjadi sotapanna, ini akan menjadi ahosi kamma (karma yang tidak berbuah).
Dalam hal ini, karena sang isteri adalah seorang sotapanna, ia sudah tidak memiliki niat untuk membunuh.
Kisah Tiga Kelompok Orang
Kelompok pertama: Sekelompok bhikkhu dalam perjalanan untuk menghadap Sang Buddha dan mereka berhenti di sebuah desa. Beberapa orang memasak makanan untuk didanakan kepada para bhikkhu. Salah satu rumah terbakar dan lingkaran api berkobar di udara. Pada saat itu, seekor burung gagak sedang terbang dan terjebak dalam kobaran api, lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para bhikkhu melihat burung gagak yang telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara itu.
Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.
Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal, mereka juga dalam perjalanan untuk menghadap Sang Buddha. Ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.
Kapten kapal berkata dengan sedih, "Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi."
Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.
Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menemui Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.
Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka bertanya di sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.
Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.
Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di dekat sana datang ke gua, dan melihat apa yang terjadi, mereka memanggil orang-orang dari tujuh desa sekitar. Dengan bantuan penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.
Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.
Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: "Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar dalam tujuh kehidupannya yang terakhir."
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: "Para bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilemparkan ke air supaya tenggelam dalam 100 kehidupannya yang terakhir".
Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga: "Para bhikkhu, suatu waktu, tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi, dan melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan cepat-cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman dalam 14 kehidupan mereka yang terakhir."
Kemudian para bhikkhu berkata, "O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua".
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Na antalikkhe na samuddamajjhe
na pabbatānaṃ vivaraṃ pavissa
na vijjatī so jagatippadeso
yatthaṭṭhito muñceyya pāpakammā."
Tidak di langit, di tengah samudra,
di celah-celah gunung atau di manapun juga,
dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang
untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
----------
Notes :
Tidak ada tempat kita dapat bersembunyi dari akibat perbuatan jahat.
Renungkanlah bait ini ketika kita mendapat musibah, kematian, dll yang sudah terjadi. Tetapi tidak untuk hal-hal yang belum terjadi.
Jangan salah mengerti menganggap bahwa hukum karma adalah fatalitas ataupun pesimis.
Jangan pernah berpikir, ya sudah, apa boleh buat, sudah karmaku, lalu tidak mau berusaha lagi. Ini namanya kurang usaha :)
Dalam landasan untuk mencapai kebuddhaan, usaha itu urutannya di nomer 1, nomer 2 nya barulah kepandaian/kecerdasan.
Jika masih belum terjadi, kita tetap harus berusaha sekeras mungkin, karena usaha itu sendiri adalah menciptakan karma baru. Karma artinya perbuatan. Apa yang kita lakukan di masa lalu (termasuk sedetik lalu, semenit lalu, sejam lalu, kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu dst..s/d kehidupan-kehidupan lalu) akan memberi hasil.
Ada sebagian karma yang berbuah langsung, ada yang menunggu saat dan kondisi yang tepat.
Karenanya kita harus berusaha sekuat mungkin dan jangan lupa memupuk banyak kebajikan, karena sesungguhnya masa depan ada di tangan kita sendiri.
Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.
Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal, mereka juga dalam perjalanan untuk menghadap Sang Buddha. Ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.
Kapten kapal berkata dengan sedih, "Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi."
Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.
Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menemui Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.
Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka bertanya di sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.
Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.
Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di dekat sana datang ke gua, dan melihat apa yang terjadi, mereka memanggil orang-orang dari tujuh desa sekitar. Dengan bantuan penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.
Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.
Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: "Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar dalam tujuh kehidupannya yang terakhir."
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: "Para bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilemparkan ke air supaya tenggelam dalam 100 kehidupannya yang terakhir".
Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga: "Para bhikkhu, suatu waktu, tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi, dan melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan cepat-cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman dalam 14 kehidupan mereka yang terakhir."
Kemudian para bhikkhu berkata, "O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua".
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Na antalikkhe na samuddamajjhe
na pabbatānaṃ vivaraṃ pavissa
na vijjatī so jagatippadeso
yatthaṭṭhito muñceyya pāpakammā."
Tidak di langit, di tengah samudra,
di celah-celah gunung atau di manapun juga,
dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang
untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
----------
Notes :
Tidak ada tempat kita dapat bersembunyi dari akibat perbuatan jahat.
Renungkanlah bait ini ketika kita mendapat musibah, kematian, dll yang sudah terjadi. Tetapi tidak untuk hal-hal yang belum terjadi.
Jangan salah mengerti menganggap bahwa hukum karma adalah fatalitas ataupun pesimis.
Jangan pernah berpikir, ya sudah, apa boleh buat, sudah karmaku, lalu tidak mau berusaha lagi. Ini namanya kurang usaha :)
Dalam landasan untuk mencapai kebuddhaan, usaha itu urutannya di nomer 1, nomer 2 nya barulah kepandaian/kecerdasan.
Jika masih belum terjadi, kita tetap harus berusaha sekeras mungkin, karena usaha itu sendiri adalah menciptakan karma baru. Karma artinya perbuatan. Apa yang kita lakukan di masa lalu (termasuk sedetik lalu, semenit lalu, sejam lalu, kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu dst..s/d kehidupan-kehidupan lalu) akan memberi hasil.
Ada sebagian karma yang berbuah langsung, ada yang menunggu saat dan kondisi yang tepat.
Karenanya kita harus berusaha sekuat mungkin dan jangan lupa memupuk banyak kebajikan, karena sesungguhnya masa depan ada di tangan kita sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)