Rabu, 14 Desember 2016

KISAH MONYET DAN BUAYA

Suatu ketika, seekor monyet berdiam di pinggir sungai. Dia sangat kuat dan peloncat yang hebat. Ditengah sungai ada sebuah pulau yang indah yang dipenuhi buah mangga, nangka dan banyak pohon buah-buahan yang lain. Di tengah tengah antara pulau dan pinggir sungai terdapat batu karang. Meskipun kelihatannya tak mungkin, si monyet biasanya melompat dari pinggir sungai ke batu karang kemudian dari batu karang ke pulau itu.

Dia bisa memakan buah sepanjang hari dan kemudian kembali ke rumah dengan rute yang sama setiap sore. Di dekat situ ada pasangan Pak Buaya dan Bu Buaya. Mereka sedang mengerami telur bayi buaya pertama mereka. Karena hamilnya, Bu Buaya kadang kadang menginginkan makanan yang aneh. Sehingga ia meminta hal hal yang aneh kepada suaminya yang setia. Bu Buaya sering terkagum-kagum, seperti hewan hewan lain, dengan cara si monyet melompat bolak-balik ke pulau itu. Suatu hari ia mengidam ingin makan jantung Monyet! Dia mengatakan keinginannya kepada Pak Buaya. Untuk memenuhi keinginannya, dia berjanji akan membawakan jantung monyet saat makan malam. Pak Buaya pergi dan bersandar di bawah batu karang diantara pinggir sungai dan pulau. Dia menunggu si monyet kembali sore itu untuk menangkapnya. Seperti biasanya, si Monyet menghabiskan waktunya di pulau itu. Saat akan kembali ke rumah dari pinggir sungai, dia menyadari bahwa batu karang itu kelihatan bertambah besar, kelihatan lebih tinggi dari air daripada yang pernah diingatnya. Sehingga ia curiga atas kelicikan Pak Buaya. Untuk meyakinkan hal ini, dia berteriak menghadap batu karang itu, “Halo yang disana, Tuan Karang! Apa kabar?” Dia meneriakkan kata-kata ini tiga kali. Kemudian lanjutnya, “Kamu biasanya menjawabku saat aku menanyaimu. Tetapi hari ini kau tidak mengatakan apapun. Ada apa dengan kamu, Tuan Karang?” Pak Buaya berpikir, “Tak salah lagi, pasti batu karang ini biasanya berbicara dengan monyet itu. Aku tak bisa menunggu karang bodoh ini untuk menjawab! Aku akan menjawabnya dan mengibuli monyet itu. Sehingga dia berteriak, “Aku baik-baik saja, Tuan Monyet. Apa yang kau inginkan?” si Monyet bertanya, “Siapa kamu?” Tanpa berpikir, buaya menjawab, “Aku Pak Buaya.” “Kenapa kamu bersandar disana?” tanya Tuan Monyet. Pak Buaya menjawab, “Aku akan mengambil jantungmu! Kamu tak akan bisa lari Tuan Monyet.” Monyet pintar ini berpikir,”Aha! Dia benar – tak ada jalan lain menuju pinggir sungai. Maka aku harus menipunya.” Kemudian dia berteriak dengan lantang, “Pak Buaya, sahabatku, kelihatannya kamu bisa mendapatkan aku. Aku akan memberikan jantungku. Bukalah mulutmu dan ambillah saat aku datang.”

Saat Pak Buaya membuka mulutnya, dia membukanya sebesar mungkin, sehingga matanya tertutup. Saat Tuan Monyet melihat ini, dia langsung melompat ke kepala buaya dan langsung ke pinggir sungai. Saat Pak Buaya menyadari bahwa dia telah tertipu, dia mengakui kemenangan Tuan Monyet. Seperti dalam pertandingan olahraga, dia mengakui kekalahannya. Dia berkata, “Tuan Monyet, tujuanku kepada kamu sebenarnya tidak sungguh-sungguh – aku ingin membunuh dan mengambil jantungmu hanya untuk menyenangkan hati istriku. Tetapi kamu hanya menyelamatkan diri dan tidak menyakiti siapapun. Selamat! Kemudian Pak Buaya kembali ke Bu Buaya. Awalnya Bu Buaya tak senang dengan hal ini, tetapi ketika telur bayi mereka menetas, mereka telah melupakan masalah itu.

Pesan moral :
Pecundang yang baik adalah lelaki sejati.

PANGERAN LIMA SENJATA DAN SI RAMBUT LENGKET

Suatu ketika, Sang Boddhisatva terlahir sebagai putra Raja dan Ratu Benares. Pada hari pemberian nama, 800 peramal diudang ke istana. Dan sebagai hadiah, mereka diberi apapun yang mereka inginkan untuk menyenangkan mereka. Dan mereka diminta untuk meramalkan nasib sang pangeran kecil, agar mereka dapat memberikan nama yang sesuai untuknya. Salah satu peramal ahli dalam membaca tanda tanda di badan. Ia berkata, “Tuanku, ini adalah berkah dari jasa-jasa anda. Dia akan menjadi raja penerus kerajaan ini.” Para peramal itu sangat pandai. Mereka mengatakan apapun yang ingin diketahui raja dan ratu. Mereka mengatakan, “Anakmu akan menjadi ahli 5 senjata. Dan akan menjadi orang terhebat dalam menguasai 5 senjata ini di seluruh India.” Berdasarkan hal ini, raja dan ratu memberi nama kepada anaknya ‘Pangeran Lima Senjata’ 

Saat pangeran berusia 16 tahun, raja memutuskan agar ia pergi belajar. Dia berkata, “Pergilah anakku, ke kota Takkasila. Disana kamu akan menemui guru yang paling terkenal. Pelajari apapun yang kamu bisa darinya. Dan berikan uang ini sebagai pembayarannya”. Dia memberikan seribu uang emas dan mengantarkan perjalanannya. Pangeran pergi ke guru terkenal di Takkasila ini. Dia belajar dengan rajin dan menjadi murid terbaik sang guru. Saat sang guru telah mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya, dia memberikan pangeran hadiah khusus untuk kelulusannya. Dia memberikan sang pangeran lima buah senjata dan mengembalikan sang pangeran ke Benares. 

Dalam perjalanan pulang, dia melewati hutan yang dihuni oleh raksasa. Para penduduk memperingatkan Pangeran Lima-Senjata, “Anak muda, jangan lewati hutan itu. Disana ada raksasa mengerikan yang bernama Rambut-Lengket. Dia membunuh semua yang dilihatnya!” Tetapi sang pangeran percaya diri dan tidak takut bagaikan seekor singa muda. Sehingga dia memasuki hutan, dan akhirnya menemui raksasa yang menakutkan itu. Raksasa itu setinggi pohon, dengan kepala sebesar atap rumah dan matanya sebesar piring makan. Dia memiliki dua taring kuning dan besar yang kelihatan keluar dari mulutnya yang menyeringai dengan giginya yang coklat jelek. Dia memiliki perut yang sangat besar dan bertotol-totol putih serta memiliki tangan dan kaki berwarna biru. Raksasa itu meraung dan menggeram kepada sang pangeran, “Kemana kau akan pergi, manusia kecil? Kamu kelihatannya enak sekali. Aku akan menelan kamu!” Pangeran baru menyelesaikan pelajarannya dan telah memenangkan penghargaan tertinggi dari gurunya. Sehingga ia merasa telah mengetahui segalanya, dan dapat melakukan segalanya. Dia menjawab, “Oh mahluk kejam, aku adalah Pangeran Lima-Senjata, dan aku sengaja datang ke sini untuk menemui kamu. Aku menantang kamu beradu kekuatan! Aku akan membunuh kamu hanya dengan dua senjata – busur dan panah beracunku.” Kemudian dia membidik panahnya ke raksasa itu. Tetapi panah itu lengket ke rambutnya, seperti lem, tanpa melukai raksasa itu sama sekali. Kemudian pangeran terus membidik raksasa sampai 50 panah beracunnya habis. Tetapi semuanya langsung lengket ke rambutnya, sehingga dinamai Rambut-Lengket. Kemudian mahluk itu mengguncangkan badannya, dari kepalanya yang jelek seukuran atap rumah sampai kakinya yang berwarna biru. Dan semua panah itu jatuh ke tanah. 

Pangeran Lima-Senjata memakai senjatanya yang ketiga, pedang sepanjang 33 inchi. Dia menusukkannya ke musuhnya. Tetapi pedang itu juga langsung lengket ke rambut yang lengket dan tebal itu. Kemudian dengan senjata keempatnya, dia menombak si raksasa, dan langsung melekat di rambut lengket. Setelah itu, ia menyerang dengan senjata terakhirnya yang kelima, dan langsung tongkatnya juga lengket ke rambut itu. Kemudian sang pangeran berteriak, “Hey kamu, raksasa, pernahkan kamu mendengar namaku, Pangeran Lima-Senjata? Aku memiliki lebih dari lima senjata. Aku memiliki kekuatan dari badanku yang muda. Akan kupatahkan badanmu berkeping-keping!” Dia memukul Rambut-Lengket dengan kepalan kanannya, seperti petinju. Tetapi tangannya lengket ke rambutnya, dan tak bisa melepaskannya. Kemudian dia memukul dengan tangan kirinya, tetapi ini juga melekat erat di rambut itu. Kemudian dia menendang dengan kaki kiki kemudian kaki kanan, seperti ahli ilmu bela-diri, tetapi keduanya juga lengket ke rambut yang berantakan itu. Kemudian dia menyerang raksasa itu dengan kepalanya sekeras mungkin seperti pegulat dan akhirnya kepalanya pun tak bisa lepas dari rambut raksasa itu.

Meskipun lengket di lima tempat, sang pangeran tetap tidak takut. Si Rambut-Lengket berpikir, “Sangat aneh, dia lebih mirip singa daripada manusia. Bahkan terjebak dengan raksasa ganas seperi aku, dia tidak takut. Selama ini, aku telah membunuh banyak orang dalam hutan ini, tak ada seorangpun seperti pangeran ini. Mengapa dia tidak takut sama sekali? Karena Pangeraa Lima-Senjata tidak seperti orang-orang lain, si Rambut-Lengket takut untuk langsung memakannya. Sehingga dia bertanya, “Anak muda, mengapa kamu tidak takut akan kematian?” Pangeran menjawab, “Mengapa aku harus takut mati? Tak ada yang meragukan setiap yang dilahirkan pasti mati!” 

Kemudian Sang Boddhisatva berpikir, “Lima senjata yang diberikan oleh guru yang paling terkenal di dunia ini telah tak berguna. Bahkan kekuatanku yang seperti singa tak berguna. Di luar guruku, badanku, aku harus mendapatkan senjata dari pikiranku, satu-satunya senjata yang aku perlukan.” Pangeran kemudian melanjutkan,”Ada hal kecil, hai raksasa, yang belum aku katakan kepadamu. Senjata rahasiaku ada di perutku, sebuah batu intan yang tak dapat kau cerna. Itu akan memotong ususmu sampai hancur jika kamu menelanku. Sehingga jika aku mati, maka kamu mati! Sehingga aku tak takut padamu.” Dengan cara ini, sang pangeran menggunakan kekuatan kekuatan dari dalam dirinya sendiri untuk meyakinkan si Rambut-Lengket. Dia sekarang mengerti bahwa senjata terbaik ada dalam pikirannya sendiri, yaitu batu intan yang berharga yang dinamakan kecerdasan. Rambut-Lengket berpikir, “Tak salah lagi, pasti orang pemberani ini menyatakan kebenaran. Bahkan jika aku makan potongan badannya sebesar kacang polong, aku tak akan bisa mencernanya. Aku akan membebaskannya.” Takut akan kematiannya sendiri, ia membebaskan Pangeran Lima-Senjata. Dia berkata, “Kau adalah orang yang hebat. Aku tak akan memakan dagingmu. Aku bebaskan kamu, seperti bulan yang muncul setelah gerhana, kau pun akan bersinar diantara sahabat dan keluargamu.”
Sang Boddhisatva telah mengalami pertempuran melawan raksasa Rambut-Lengket dan telah mengetahui bahwa senjata yang paling berharga adalah kecerdasan, bukan senjata yang ada di luar. Dan dengan senjata ini, dia juga mengetahui bahwa mencabut jiwa mahluk hidup hanya akan mengakibatkan penderitaan bagi si pembunuh. Dengan penuh terima kasih dia megatakan kepada raksasa yang tak beruntung itu, “Oh Rambut-Lengket, kamu terlahir sebagai mahluk pembunuh pemakan daging, karena perbuatan jahatmu yang lampau. Kamu hanya akan pergi dari kegelapan ke kegelapan yang lain. Sekarang kamu telah membebaskan aku, kamu tak akan bisa membunuh dengan gampang. Dengarlah, membunuh mahluk hidup akan membawa kesengsaraan dalam dunia, dan kemudian akan terlahir di neraka, atau sebagai hewan atau setan kelaparan. Bahkan jika kamu cukup beruntung untuk terlahir menjadi manusia, kamu akan memiliki umur pendek!” Pangeran Lima-Senjata kemudian terus mengajar Rambut-Lengket, sehingga raksasa itu setuju menjalankan lima aturan kemoralan. 

Dengan cara ini dia berubah dari raksasa menjadi peri penjaga hutan yang bersahabat. Dan ketika dia meninggalkan hutan, pangeran menceritakan tentang berubahnya raksasa itu kepada penduduk sekitar. Dan untuk selanjutnya mereka memberi makan kepadanya secara teratur dan hidup dengan damai. Pangeran Lima-Senjata kembali ke Benares. Kemudian dia menjadi raja. Akhirnya ia meninggal dan terlahir di alam yang sesuai.